Pencarian, Penelusuran dan Pengungkapan Kebenaran Melalui Hukum
Kolom

Pencarian, Penelusuran dan Pengungkapan Kebenaran Melalui Hukum

Studi kasus sertifikat hak atas tanah sebagai bukti kebenaran-pembenaran penguasaan-pemilikan.

Bacaan 8 Menit

Praktik hukum jauh lebih rumit dari itu. Beberapa faktor berpengaruh di sini. Pertama adalah rumit-mahal dan tidak selalu terjangkaunya layanan Kantor Pertanahan, terutama bagi masyarakat pelosok atau masyarakat miskin perkotaan. Kedua, adalah sikap ambigu negara sendiri terhadap kekuatan bukti atau kebenaran informasi yang tercantum di dalam Sertifikat Hak atas Tanah. Keduanya membuka celah-peluang berkembangnya cara-cara atau bukti-bukti lain untuk menunjukkan keabsahan-dan legitimasi kepemilikan-penguasaan tanah. 

Pendudukan-penguasaan tanah secara nyata (fisik) sekurang-kurangnya selama 20 tahun berturut secara formal dibuktikan dengan berbagai dokumen yang tersedia. Di dalam praktik hukum, misalnya, dokumen bukti pajak tanah (letter-c, kikitir, pethuk, dll) atau bukti tanah dari pemerintah colonial (berkas-berkas: eigendom verponding, erfpacht, dll) menjadi pegangan dan digunakan untuk mendukung klaim (validitas dan legitimitasi) penguasaan fisik atau digunakan untuk membantah kebenaran klaim dari pemegang sertifikat hak atas tanah. Pengadilan, bahkan, terbukti, atas dasar adanya bukti-bukti indikatif di atas (bukti-bukti awal adanya hak) memutus untuk membatalkan dan menetapkan tidak sah Sertifikat Hak Milik yang secara sah (substantif-prosedural) diterbitkan Kantor Pertanahan.

Singkat kata, SKT/SKD dalam praktik hukum (setidak-tidaknya di tingkat desa atau masyarakat desa) digunakan sebagai bukti sempurna tentang keabsahan dan legitimasi penguasaan-pemilikan tanah. Bahkan, informasi yang tercantum dalam SKT/SKD, karena melibatkan langsung aparat pemerintah desa dan proses pembuatannya dilakukan dalam lingkup masyarakat desa, sebenarnya memenuhi kriteria kebenaran koresponden. Informasi yang dinyatakan di dalam SKT/SKD berkorespondensi dengan kenyataan empiris terkait pemilik, lokasi-luasan tanah, riwayat tanah dll. Kemungkinan besar itu pula yang menyebabkan SKT/D (termasuk semua bukti indikatif lain: bukti bayar pajak zaman kolonial, atau lainnya) bahkan dipandang mempunyai kekuatan bukti berdiri sendiri dan lebih lagi dapat memfalsifikasi kebenaran yang termuat dalam Sertifikat Hak atas Tanah.

Penutup

Uraian singkat di atas tidak dimaksudkan untuk memberikan kata akhir tentang surat atau dokumen hukum mana yang paling benar. Juga tidak dimaksud sebagai ulasan khusus tentang masalah kekuatan bukti dokumen kepemilikan-penguasaan tanah dalam ranah hukum pertanahan. Sebaliknya uraian singkat ini hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang bagaimana klaim kebenaran (materiil-substantif-prosesuil), tidak hanya pada tataran teoretikal, namun justru pada ranah praktikal, terkait berkelindan dengan pengujian keabsahan (validitas-legalitas) maupun legitimasi. Satu catatan penting yang muncul, kendati begitu, adalah pentingnya menelisik dan terus mempertanyakan klaim kebenaran dari setiap pernyataan normatif-evaluatif di bidang hukum, apapun bentuk akhirnya.

*)Tristam Pascal Moeliono, Pengajar mata kuliah filsafat hukum, perbandingan hukum dan sosiologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Anggota KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik) dan AFHI (Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Univeristas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait