Penilaian dalam Pendaftaran Merek
Kolom

Penilaian dalam Pendaftaran Merek

Penilaian persamaan dan perbedaan merek yang mengajukan pendaftaran tidak lepas dari unsur subjektif petugas pemeriksa merek DJKI. Namun, tetap ada batasan kriteria objektif.

Bacaan 4 Menit
Kevin Aditya Burhan. Foto: Istimewa.
Kevin Aditya Burhan. Foto: Istimewa.

Indonesia—melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek)—menganut sistem first to file dalam proses permohonan pendaftaran merek. Hal ini berarti bahwa pihak yang lebih dahulu mengajukan permohonan pendaftaran merek adalah pihak yang memiliki hak terhadap merek tersebut.

Namun, pendaftaran merek tidak bersifat absolut. Hal itu karena tidak semua permohonan pendaftaran merek yang diajukan akan diterima oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (DJKI). Penolakan atas pendaftaran merek dibagi menjadi dua jenis yaitu penolakan dengan alasan absolut dan relatif. Penolakan absolut berkaitan dengan undang-undang, moral agama, ketertiban umum, dan iktikad baik berdasarkan Pasal 20 UU Merek.

Baca juga:

Di sisi lain, penolakan dengan alasan relatif disebabkan adanya hak atas merek yang telah didaftar lebih dahulu. Acuan untuk alasan ini diatur dalam Pasal 21 ayat 2 UU Merek. Isinya mengatur empat kondisi yang membuat permohonan pendaftaran merek harus ditolak. Intinya adalah terjadi persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara merek yang sedang diajukan pendaftaran dengan yang sudah terdaftar atau dikenal di DJKI.

Proses permohonan pendaftaran merek di DJKI akan ditangani Direktorat Merek dengan pemeriksaan formalitas. Tahapan ini memeriksa Surat Kuasa—apabila permohonan dikuasakan atau diajukan oleh pihak asing—, etiket merek, jenis barang/jasa, dokumen prioritas, dan dokumen terkait lainnya. Pemeriksaan formalitas dilanjutkan dengan tahapan publikasi selama dua bulan. Pihak lain dapat mengajukan keberatan–atas permohonan pendaftaran merek—pada rentang waktu ini.

Selanjutnya, pemeriksaan substantif akan dilakukan berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UU Merek dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (Permenkumham 67/2016). Pemeriksaan ini membandingkan dan menilai perbedaan atau persamaan antara merek yang akan didaftar dengan merek terdaftar. Tahap ini memastikan tidak ada potensi persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya.

Permenkumham 67/2016 memberi kriteria lanjutan bahwa persamaan pada pokoknya ditandai adanya persamaan unsur yang dominan di antara merek. Ada lima unsur penilaian persamaan pada pokoknya yaitu bentuk, cara penempatan, cara penulisan, kombinasi antara unsur, serta persamaan bunyi ucapan.

Tags:

Berita Terkait