Peran Komite VI dan Diskursus Hukum Internasional di PBB
Kolom

Peran Komite VI dan Diskursus Hukum Internasional di PBB

Komite VI diharapkan terus menjadi forum bagi delegasi negara untuk mengajukan pendekatan/proposal serta berbagi best practices di bidang hukum, sebagai upaya pengembangan hukum internasional.

Bacaan 5 Menit
Muhammad Taufan. Foto: Istimewa
Muhammad Taufan. Foto: Istimewa

Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk pada tahun 1945, melalui penandatanganan piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional (MI), hukum internasional adalah aspek integral dari diplomasi multilateral negara-negara di PBB. Meskipun hanya terdapat lima kata hukum atau ‘law’ dalam piagam PBB, mulai dari bagian preamble, pasal 1, 13 dan 84, elemen hukum menjadi salah satu inti dari bidang kerja PBB selain misalnya Hak Asasi Manusia (HAM), perdamaian, dan ekonomi-sosial. 

Pembahasan isu hukum oleh negara-negara di PBB secara spesifik dilakukan oleh Komite VI Majelis Umum (MU) PBB, sesuai pasal 98 Rules of Procedure (RoP) MU PBB. Meskipun demikian, secara umum, pertemuan pleno MU PBB juga berwenang mengadakan berbagai diskusi/pembahasan isu hukum. Selain itu, dalam kerangka PBB, isu hukum juga masuk dalam lingkup tugas/fungsi lembaga seperti MI dan International Law Commission (ILC).

Komite VI dibentuk pada sesi pertama pertemuan MU PBB di London pada tanggal 11 Januari 1946 sebagai salah satu/bagian dari 6 (enam) komite inti MU PBB. Sesuai pasal 13 (1) (a) Piagam PBB, Komite ini bertujuan melakukan kodifikasi dan memajukan pengembangan hukum internasional.

Baca juga:

Organisasi, Prosedur dan Kontribusi Komite VI

Struktur Komite VI terdiri dari tiga organ yaitu biro, delegasi dan sekretariat. Masing-masing organ memiliki peran yang bertujuan untuk menyukseskan kinerja Komite termasuk dalam mengakomodir beragam kepentingan/aspirasi negara-negara. Biro Komite terdiri dari satu orang ketua di tingkat Duta Besar, tiga wakil ketua dan satu rapporteur.

Pemilihan anggota biro dilaksanakan secara aklamasi dan berasal dari lima kawasan yang berbeda yaitu Asia-Pasifik, Afrika, Amerika Latin, Eropa Barat dan wilayah lain, dan Eropa Timur. Adapun delegasi yang ikut dalam pertemuan Komite VI berasal dari 193 negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Pelaksanaan pertemuan Komite VI dan hal-hal terkait lainnya difasilitasi oleh sekretariat Komite VI yang juga berada di bawah sekretariat PBB khususnya Office of Legal Affairs (OLA/kantor urusan hukum). 

Terdapat beberapa bentuk kegiatan dalam pertemuan Komite VI, seperti halnya Komite MU PBB lainnya, yaitu debat umum/tematik tentang topik hukum dalam mata agenda yang ada, negosiasi rancangan resolusi (ranres), dan drafting ranres.

Prosedur pengambilan keputusan di Komite VI cukup unik karena selalu melalui konsensus. Hal ini agak berbeda dibanding Komite MU PBB lain seperti I (pelucutan senjata), II (ekonomi-lingkungan hidup, III (HAM dan kemanusiaan) yang juga mengandalkan pemungutan suara dalam pengambilan keputusan.

Adanya tradisi konsensus ini seringkali membuat pihak masing-masing negara kesulitan untuk menyepakati sesuatu yang baru karena harus memperoleh greenlight dari semua delegasi. Dengan kata lain apabila ada satu delegasi yang keberatan maka pertemuan tidak dapat mengesahkan rancangan resolusi. 

Komite VI berperan sebagai forum di mana negara-negara saling mengajukan pandangan dan proposalnya terkait berbagai mata agenda/topik hukum. Melalui proses ini, terjadi diskursus pemikiran, kebijakan dan exchange capaian implementasi hukum yang kemudian juga dapat menjadi inspirasi bagi penerapan hukum di negara/kawasan lain. 

Beberapa topik pembahasan Komite VI pada sesi ke-77 (2022-2023) antara lain adalah perlindungan diplomatik, crimes against humanity, rule of law at the national and international levels, lingkup dan aplikasi yurisdiksi universal, responsibility of States for internationally wrongful acts, akuntabilitas kriminal pejabat PBB, laporan the UN Commission on International Trade Law (UNCITRAL), laporan International Law Commission (ILC).

Sejak awal dibentuk, bersama organ PBB lain terkait hukum terutama ILC, Komite VI juga telah berperan besar dalam pembahasan berbagai draft international instruments hingga menghasilkan the 1961 Vienna Convention on Diplomatic Relations, the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, the 1998 Rome Statute of the International Criminal Court, the 1999 International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism.

Hukum dan Politik

Pembahasan isu hukum dan negosiasi ranres di Komite VI tentunya tidak terlepas dari kepentingan politik suatu negara. Dalam hal ini aspek kapasitas teknis, ekonomi, sosial dan bahkan ideologi negara berpengaruh terhadap pandangan negara di suatu topik hukum tertentu.

Sebagai contoh, salah satu perdebatan yang paling delicate adalah terkait isu crimes against humanity (CAH) di mana negara-negara seperti Iran, RRT, Rusia, Korut, memiliki pendekatan cukup bertolak belakang dengan negara-negara Eropa dan Amerika Latin.

Negara-negara Eropa dan Amerika Latin umumnya menghendaki suatu terobosan keputusan/produk Komite VI guna mendorong instrumen internasional tentang kejahatan kemanusiaan. Adapun negara-negara seperti Iran, RRT, Rusia dan Korut sangat mengedepankan kehati-hatian dan menghindari potensi politisasi isu CAH, sehingga belum ada keperluan membentuk instrumen internasional tentang kejahatan kemanusiaan. Lebih jauh negara-negara juga memiliki kesiapan teknis yang berbeda-beda termasuk perangkat nasional/legislasi ataupun infrastruktur hukum yang mendukung isu ini.

Contoh lain adalah terkait isu lingkungan hidup dan pemberantasan terorisme, di mana delegasi memiliki tolok ukur dan pertimbangan yang sangat mungkin berbeda-beda sehingga perlu menemukan satu titik temu berupa rumusan teks dalam resolusi yang mengakomodir atau tidak merugikan semua pihak.

Tidak jarang di balik negosiasi ranres Komite, dilakukan lobby bilateral ataupun dengan kelompok negara dengan didampingi sekretariat guna mencari alternatif jalan keluar atas suatu ranres/topik tertentu.

Peran Diplomat

Di balik berbagai pertemuan dimaksud, terdapat diplomat dari berbagai negara yang hadir sebagai delegasi pada negosiasi/pembahasan di Komite VI PBB. Mereka melakukan kerja seperti menyiapkan teks debat umum/pandangan nasional, riset, menyusun proposal teks pada ranres, lobby, hingga melaporkan perkembangan ke pemerintah pusat.

Diplomat yang ditugaskan mengikuti pembahasan di Komite VI lazimnya memiliki latar belakang dan pengalaman di bidang hukum internasional. Mereka bertanggung jawab untuk mewakili negara dalam mengawal dan mengedepankan kepentingan nasional di bidang hukum. Para diplomat ini juga berperan memberikan advis hukum kepada Kepala Perwakilan suatu negara kepada PBB di New York, AS atas berbagai isu hukum di PBB, tidak hanya terbatas pada Komite VI.

Ruang lingkup isu yang mereka tangani cukup luas mulai dari hukum pidana internasional, hukum humaniter internasional, hukum kelautan, hukum perdagangan internasional, hukum diplomatik dan organisasi internasional, hukum lingkungan, hingga aspek prosedural lembaga/organ PBB. 

Pengalaman Penulis ketika ditugaskan untuk menangani isu hukum termasuk Komite VI cukup beragam sesuai berbagai aktivitas ataupun topik yang disebutkan di atas. Wawasan hukum internasional dan kemampuan berkoordinasi dengan pihak terkait di pusat sangat diperlukan guna memperkuat diplomasi hukum internasional Indonesia di fora multilateral.

Kesempatan berinteraksi dan bertukar pikiran dengan delegasi negara lain serta pejabat tinggi organisasi internasional di bidang hukum (MI, ILC, International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS)) juga menjadi bagian pengalaman yang penting untuk menunjukan peran aktif serta postur Indonesia di bidang hukum.

Ke depan, guna semakin meningkatkan kontribusi riil delegasi negara pada pertemuan Komite VI diperlukan penguatan sinergi dengan para pihak terkait isu-isu hukum di tingkat nasional ataupun kawasan baik dari kalangan akademis ataupun praktisi. Dengan sinergi ini dipandang akan menghasilkan pandangan nasional yang komprehensif dan ter-diseminasinya diskursus hukum internasional multilateral. Hal ini mengingat pentingnya pembahasan isu hukum yang inklusif dan komprehensif dengan berbagai warna/corak pendekatan hukum yang dimiliki negara-negara di PBB.

Komite VI diharapkan terus menjadi forum bagi delegasi negara untuk mengajukan pendekatan/proposal serta berbagi best practices di bidang hukum, sebagai upaya pengembangan hukum internasional. 

*)Muhammad Taufan PhD, Pemerhati dan Praktisi Hukum Internasional.

Catatan Redaksi:

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait