Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terbaru

Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual

Restorative justice bukanlah alternatif sistem peradilan pidana, namun berguna untuk keperluan melengkapi peradilan pidana yang kurang komplit mengenai hak korban. Untuk itu restorative justice tidak menghapus hukum pidana yang ada.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual
Hukumonline

Prinsip restorative justice adalah suatu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakukan kebijakan, namun pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum optimal.

Fokus keadilan restorative justice adalah pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.

Tujuannya adalah untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atau penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Baca Juga:

“Keuntungan pelaksanaan restorative justice memberikan pilihan pada korban tentang bagaimana pelanggaran mereka ditangani dan diantisipasi untuk menentukan hukuman, sehingga memulihkan rasa harga diri, keamanan, martabat, dan rasa kendali,” jelas Natalia Widiasih selaku Akademisi sekaligus spesialis Kesehatan Jiwa Konsultan Psikiatri Forensik pada diskusi yang dilakukan secara daring pada Senin (12/12).

Sebelum disahkannya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kasus kekerasan seksual seringkali hanya diselesaikan dengan proses mediasi antara korban dan pelaku. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan UU TPKS yang baru disahkan, di mana tindak pidana kekerasan seksual harus dilaksanakan di dalam pengadilan.

UU TPKS belum sepenuhnya dilaksanakan. Maka dari itu, Natalia menyebutkan ada empat periode dalam memastikan keamanan korban kekerasan seksual dalam restorative justice, yaitu:

1.  Periode Persiapan

Yaitu mengutamakan keselamatan pihak korban dan pelaku, sehingga tidak langsung dipertemukan tatap muka.

2.  Periode Intake dan Referral

Seluruh pihak mendapatkan informasi menyeluruh melalui konseling hukum gratis, kemudian pelaku bertanggung jawab mengakui perbuatannya dan setelahnya ada evaluasi ketat dan berulang untuk menentukan kesesuaian dilaksanakannya restorative justice.

3.  Periode Konferensi

Korban memetakan struktur konferensi dengan pertimbangan sesi pertemuan antara pelaku dengan korban kekerasan lain untuk membangun empati. Selain itu perlu alokasi waktu, menulis surat permintaan maaf apabila diminta oleh korban, dan fasilitator memberi umpan baik serta melakukan evaluasi secara formal dan proses dapat dihentikan kapan saja oleh fasilitator.

4.  Periode Akuntabilitas dan Reintegrasi

Perjanjian ganti rugi harus mencakup juga pada pengawasan pelaku. Pelaku harus menjalani kurikulum ketat yang melibatkan pendidikan, selain itu perlu restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan kesadaran diri. 

“Yang perlu dilakukan dalam menjalankan restorative justice adalah harus ada penilaian peserta kesesuaian dan kelayakan dilaksanakannya restorative justice, harus ada penilaian resiko, persiapan menyeluruh, fleksibilitas, alokasi waktu yang cukup, mediator terlatih, perlindungan dan supervisi yang memastikan korban tidak menjadi korban kembali akibat proses restorative justice, serta pelaku melaksanakan program rehabilitasi kolektif untuk mencegah tindakan yang berulang,” jelas Natali.

Restorative justice bukanlah alternatif sistem peradilan pidana, restorative justice berguna untuk keperluan melengkapi peradilan pidana yang kurang komplit mengenai hak korban, untuk itu restorative justice tidak menghapus hukum pidana yang ada.

Pendekatan restorative justice dapat dilakukan hanya jika pelaku adalah seorang anak, karena anak sebagai pelaku merupakan korban dari lingkungannya yang membentuk perilakunya, selain itu anak belum mampu berpikir jernih apa yang boleh dilakukan dan tidak.

Tags:

Berita Terkait