Saling Kritisi Kapasitas Ahli di Sidang Sengketa Pilpres
Sengketa Pilpres 2019:

Saling Kritisi Kapasitas Ahli di Sidang Sengketa Pilpres

Dalam salah satu keterangannya, Eddy OS Hiariej menerangkan empat prinsip fundamental dalam pembuktian.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Menjawab keraguan BW, Eddy Hiariej mengakui keraguan beberapa pihak atas keahlian dirinya dalam persidangan sengketa pilpres ini. "Mengenai kualifikasi ahli, saya buka-bukaan saja di sidang terhormat terbuka ini. Jangankan Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Hukum Pihak Terkait saja ini jadi perdebatan waktu saya dimajukan jadi ahli," ujar Eddy.

 

Eddy  yang memang dikenal sebagai pakar hukum pidana itu melanjutkan sebagai seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai bukanlah bidang ilmu yang ditekuni, melainkan ilmu mengenai asas dan teori hukum. Menurutnya, dengan menguasai dua ilmu tersebut, seorang profesor hukum seperti dirinya dapat menjawab semua persoalan hukum. "Kendatipun saya memang belum pernah menulis secara spesifik soal pemilu," kata dia.

 

Terkait permintaan BW untuk menunjukkan buku dan karya jurnal tentang hukum pembuktian terkait pemilu, Edward mengatakan karya-karya tulisnya telah dilampirkan dalam curriculum vitae (CV). "Kalau Saudara tanya saya sudah berapa buku, saya kira saya tadi sudah melampirkan CV. Ada beberapa buku dan berapa jurnal internasional silahkan nanti bisa diperiksa," ujar dia.

 

Empat prinsip pembuktian

Dalam kesempatan ini, Eddy menjelaskan empat hal fundamental dalam pembuktian. Pertama, relevan. Relevan berarti bukti yang disampaikan harus relevan dengan gugatan atau dengan suatu permohonan. Kedua, admissible atau dapat diterima. "Suatu bukti yang relevan belum tentu admissible, tetapi bukti yang admissible adalah bukti yang relevan," ujarnya.

 

Hal fundamental ketiga dalam pembuktian adalah cara perolehan bukti yang harus benar secara hukum. Hal itu tertuang dalam Pasal 36 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi. “Persoalan perolehan bukti harus dengan jalan-jalan yang konstitusional, harus dengan cara-cara yang benar menurut hukum," kata Hiariej.

 

Keempat, kekuatan pembuktian. "Kekuatan pembuktian ini otoritatif hakim yang akan menilai apakah dia akan menjadi alat bukti yang kuat atau tidak," Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada itu.

 

Untuk diketahui, usai Jaswar Koto memberi keterangannya seputar adanya banyak temuan koreksi (editan) pada form C-1 yang mengindikasikan adanya kesalahan entry data pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU. Menurutnya, perolehan suara dalam Situng KPU itu seharusnya fluktuatif disesuaikan dengan data hasil suara yang masuk. Ini justru menunjukkan angka yang relatif sama (konstan) jika dibandingkan dengan quick count dan real count akibat adanya modifikasi dan pengaturan pada Situng KPU tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait