Sejumlah Akademisi Ramai-Ramai Tolak RUU Cipta Kerja
Berita

Sejumlah Akademisi Ramai-Ramai Tolak RUU Cipta Kerja

Dengan beragam alasan mulai penyusunan RUU Cipta yang tertutup, materi muatannya cenderung kapitalis neoliberalis, menutup mata berbagai persoalan pertambangan, mengabaikan perlindungan ketenagakerjaan, hingga mengabaikan sejumlah aturan lingkungan hidup.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Prof Yonariza, terdapat empat alasan menolak RUU Cipta Kerja. Pertama, secara filosofis, RUU Cipta Kerja berkarakter modernisasi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi. Filosofi tersebut lama sudah ditolak. Kedua, secara politis RUU Cipta Kerja memperkuat peran pemerintah pusat dan berlawanan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah atau mazhab pembangunan independensi. Ketiga, secara ekonomi menganut paham liberalime, membuka kran impor sedemikian luas dan peluang masuknya tenaga kerja asing.

 

“Keempat, tidak ramah lingkungan,” ujarnya.

 

Sementara Wakil Dekan Universitas Trunojoyo Madura Devi Rahayu menyoroti soal pengaturan sistem outsourcing dan praktik PHK yang bakal meluas. Menurutnya, penghapusan Pasal 64 dan 65 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur syarat-syarat penyerahan atau jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing) melalui perjanjian pemborongan.

 

Menurutnya, pengaturan syarat-syarat outsourcing dalam RUU Cipta Kerja diperluas. Artinya, tidak terdapat pembedaan jenis pekerjaan antara core business dan kegiatan penunjang. Aturan ini bakal berpotensi untuk semua jenis pekerjaan dapat dialihdayakan dan tak adanya batasan waktu mengenai kontrak kerja outsourcing ini. “Sehingga banyak hak yang tidak diperoleh pekerja,” katanya.

 

Baca Juga: Pemerintah Diminta Menarik Draf RUU Cipta Kerja

 

Pertambangan dan lingkungan

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarwan Samarinda Haris Retno Susmiyati menyoroti aspek hukum pertambangan. Menurutnya, pengaturan pertambangan dalam RUU Cipta Kerja membahayakan karena berpotensi menimbulkan banyak masalah. “Masalahnya, RUU Cipta Kerja justru tutup mata terhadap masalah dan fakta yang sedang dihadapi masyarakat di wilayah tambang,” kata Haris Retno dalam kesempatan yang sama.

 

Di Indonesia, terdapat 8.000 izin pertambangan. Misalnya, Kalimantan Timur terdapat 1.404 izin pertambangan setelah dilakukan audit menyusut menjadi 1.100 izin. Namun, luasan tambangnya tidak berkurang yakni 5,2 hektar setara dengan 40 persen wilayah Kalimantan Timur yang diperuntukan tambang. Dampak buruknya kerap terjadi banjir, longsor, kualitas air memburuk, serta kerusakan lingkungan yang lain. Bahkan 34 nyawa tenggelam di lubang tambang.

 

Dia menerangkan RUU Cipta Kerja ditujukan mempermudah perizinan dan penyederhanaan regulasi demi meningkatkan peluang investasi dan lapangan kerja. Menurutnya, tujuan tersebut kontraproduktif karena sektor pertambangan kategori usaha padat modal, bukan padat karya, tak dapat menyerap banyak tenaga kerja.

 

Sementara Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Ramdan  Andri Gunawan Wibisana menilai lingkungan hidup bakal semakin terancam bila RUU Cipta Kerja disahkan. Sebab, izin lingkungan secara administratif dalam Pasal 40 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus oleh RUU Cipta Kerja. Begitu pula dengan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait