Sejumlah Rekomendasi untuk Materi Pembahasan RUU Narkotika
Terbaru

Sejumlah Rekomendasi untuk Materi Pembahasan RUU Narkotika

Mulai teknik penyidikan khusus bisa jadi objek praperadilan, memasukkan unsur kesalahan dalam pasal, penggunaan narkotika untuk diri sendiri tidak dipidana, hingga pembentukan Tim Penilai.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Anggota JRKN, Maidina Rahmawati  dalam diskusi daring bertajuk 'Paparan RUU Narkotika Rekomendasi JRKN', Selasa (22/2/2022). Foto: RFQ
Anggota JRKN, Maidina Rahmawati dalam diskusi daring bertajuk 'Paparan RUU Narkotika Rekomendasi JRKN', Selasa (22/2/2022). Foto: RFQ

Teknik penyidikan khusus yang dilakukan penyidik Polri atau Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam penanganan kasus narkotika seharusnya menjadi objek praperadilan dalam Revisi Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebab, selama ini tidak ada pengaturan standar metode khusus penyidikan dalam perkara narkotika yang bisa diakses dan dipersoalkan masyarakat.  

“Berkaitan metode penyidikan ini kita usulkan bisa menjadi objek praperadilan,” ujar salah satu Anggota Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) Maidina Rahmawati dalam diskusi daring bertajuk “Paparan RUU Narkotika Rekomendasi JRKN”, Selasa (22/2/2022).

Dia menerangkan penyidikan khusus dalam penanganan kasus narkotika terdapat dua metode sebagaimana diatur Pasal 75 huruf j UU 35/2009. Pertama, metode teknik penyidikan pembelian terselubung (under cover buying). Kedua, metode teknik penyidikan penyerahan di bawah pengawasan (submission under supervision).

Dalam praktik penyidikan yang dilakukan BNN atau Polri, penyidik menggunakan dua metode penyidikan tersebut untuk membongkar peredaran gelap narkotika. Dalam membongkar sindikat peredaran gelap narkotika, dimulai dengan adanya bukti permulaan yang cukup untuk melakukan pembelian terselubung dan penyerangan di bawah pengawasan.

Bukti permulaan yang cukup, kemudian dikirimkan ke pihak Kejaksaan atau Pengadilan Negeri (PN) setempat dalam rangka mendapatkan izin menggunakan dua metode penyidikan tersebut. Menurut Maidina, izin menyidik kasus peredaran gelap narkotika dibatasi 1x7 hari dan dapat diperpanjang 1x7 hari, sehingga totalnya menjadi 14 hari. Selanjutnya, menyusun berita acara yang akan diberikan ke terduga/tersangka dan/atau kuasa hukumnya.

Bagi JRKN, kata Maidina, metode penyidikan tersebut sudah selayaknya menjadi objek praperadilan dan diirekomendasikan masuk dalam pengaturan draf RUU Narkotika. Sebab, dalam praktik selama ini, masyarakat yang tersandung kasus narkotika tidak dapat mengakses dan mempersoalkan standar metode penyidikan khusus tersebut.

“Banyak sekali putusan-putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa penyidikan berdasarkan penjebakan dan sebagiannya berkaitan dengan kewenangan ini dapat dijadikan investigasi atau pengusutan tindak pidana,” kata dia.

(Baca Juga: JRKN Usulkan Pengguna Tidak Dipidan Dalam RUU Narkotika)

Selain mekanisme hukum acara itu, JRKN mengusulkan soal perubahan pengaturan tentang ketentuan pidana. Seperti merumuskan ulang gradasi tindak pidana. Kemudian mencantumkan unsur kesalahan ke dalam rumusan tindak pidana narkotika. Bagi Maidina, dalam UU 35/2009, unsur kesalahan tidak dimuat secara eksplisit yang berujung implementasinya tidak bisa digali mendalam oleh aparat penegak hukum di lapangan.

“Kita dihadapkan pada kasus-kasus orang tidak tahu dan tidak mengetahui menguasai narkotika, dan akhirnya berdampak pada hukumannya bisa sampai pidana mati,” ujarnya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu lebih lanjut mengusulkan menghapus perbuatan penggunaan narkotika untuk diri sendiri, dan penguasaan/pemilikan/pembelian narkotika untuk konsumsi pribadi. Termasuk menghapus pidana minimum khusus dan pidana mati dari ketentuan pidana UU Narkotika. Begitu pula dengan ketentuan peralihan soal bagaimana respons negara terhadap warga binaan pemasyarakatan terhadap pengguna narkotika.

Hukumonline.com

Soal ketentuan peralihan, menurutnya saat UU hasil revisi mulai berlaku, dalam kurun waktu 6 bulan, pemerintah harus membentuk tim penilai bagi terpidana kasus narkotika dalam pemasyarakatan agar diberlakukan ketentuan yang lebih ringan berdasarkan UU. Dalam penjelasannya, kata Maidina, ketentuan tersebut dimaksudkan memberi waktu bagi pemerintah melakukan penilaian terhadap terpidana yang menjalani hukuman. Penilaian ini menjadi dasar diberlakukannya ketentuan yang berubah dan lebih ringan bagi terpidana narkotika.

“Misalnya dalam hal terpidana dikenakan pasal penggunaan narkotika, maka serta merta dikeluarkan atau diberlakukan intervensi oleh panel asesmen kepada yang bersangkutan,” ujarnya.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej berpandangan prinsipnya sependapat dengan masukan JRKN. Hanya saja, soal hukum acara perlu didiskusikan mendalam di internal pemerintah khususnya menyangkut under cover buying dan submission under supervision sebagai teknik penyidikan khusus. “Menjadi pertanyaan, apakah perlu izin dari PN? Menjadi soal bila tidak mendapat izin dari PN,” kata Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam kesempatan yang sama.    

Hukumonline.com

Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej. 

Menurutnya, perlu adanya kontrol penggunaan dua metode penyidikan tersebut agar aparat penegak hukum di lapangan tidak bertindak semena-mena. Serta meminimalisir agar metode penyidikan tersebut tidak digunakan untuk memeras atau mengkriminalkan masyarakat oleh oknum aparat penegak hukum. “Saya berpendapat tetap ada quality control, tapi pemberitahuan,” ujarnya.

Dia sependapat dengan JRKN tentang metode penyidikan menjadi objek praperadilan. Sebab under cover buying dan submission under supervision dapat dinilai berada di luar due process of law. Namun perlu dipahami, narkotika masuk kategori extraordinary crime. “Yang pasti, untuk narkotika ini pemidanaan itu suatu hal penting, tapi bukan utama. Artinya pemidanaan ini ditunjukan bagi pengedar dan bandar,” katanya.

Tags:

Berita Terkait