Sistem OSS Dukung Upaya Pencegahan Korupsi dan TPPU
Utama

Sistem OSS Dukung Upaya Pencegahan Korupsi dan TPPU

OSS mengurangi tatap muka antara pelaku usaha dan pejabat pemerintah. Hal ini dinilai dapat meminimalisir adanya “kongkalikong” dalam pengurusan perizinan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Pada Juni 2018, Kementerian Koordiator Perekonomian (Menko) mersmikan program kemudahan pengurusan perizinan yang disebut dengan Online Single Submission (OSS). Aturan mengenai OSS ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

 

Dalam OSS pemerintah berupaya menyederhanakan pengurusan perizinan yang selama ini terlalu berbelit-belit. Hanya dengan satu platform, pelaku usaha dapat mengurus berbagai perizinan yang sudah terdaftar di Klasifikasi Buku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

 

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, mengatakan bahwa selain memberikan kemudahan perizinan bagi para pelaku usaha, keberadaan OSS juga berupaya untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Pasalnya, proses pengurusan perizinan minim tatap muka antara pelaku usaha dan pejabat/pengurus OSS sehingga ikut meminimalisir terjadinya kongkalikong.

 

Susiwijono juga menjelaskan bahwa proses perizinan berusaha melalui sistem elektronik terpusat dapat dipantau (tracking) setiap saat oleh pelaku usaha maupun instansi yang berwenang. Sistem OSS juga menerapkan standardisasi proses penerbitan perizinan berusaha, dari sisi persyaratan maupun waktu penyelesaian perizinan, sehingga dapat memberikan kepastian bagi pelaku usaha.

 

“Mekanisme perizinan melalui OSS mampu mengurangi tatap muka dalam proses penyelesaian perizinan berusaha sebagai salah satu upaya menghindari terjadinya interaksi negatif antara pelaku usaha dengan pejabat pemerintah,” kata Susiwijono dalam Rapat Koordinasi Tahunan di 2019 di Jakarta, Selasa (26/2).

 

Bahkan sebagai bentuk dukungan pencegahan tindakan korupsi dan TPPU, sistem OSS juga memberikan data kegiatan usaha secara berkelanjutan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), khususnya untuk bidang usaha perdagangan mobil, perdagangan perhiasan emas, dan perdagangan properti dengan transaksi di atas Rp 500 juta.

 

Selain itu, dalam upaya mendukung pencegahan korupsi, OSS mendukung upaya Kemenko Perekonomian dalam melakukan reformasi regulasi berizinan Berusaha di seluruh area perizinan. Melakukan evaluasi NSPK (standardisasi proses bisnis pemenuhan komitmen) dari Kementerian/Lembaga terkait Izin Usaha, melakukan koordinasi evaluasi NSPK (standardisasi proses bisnis pemenuhan komitmen) dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait perizinan Izin Operasional/Komersial.

 

(Baca Juga: Dinilai Tabrak Aturan Sana Sini, PP OSS Harus Direvisi)

 

Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Krishnamurti mengingatkan pemerintah perlu memastikan penerapan sistem OSS dapat bekerja dengan baik hingga ke daerah-derah untuk memperlancar kemudahan berusaha dan membuka kesempatan lebih besar terhadap munculnya perusahaan rintisan.

 

"Supaya Indonesia bisa kompetitif, bahkan di tingkat kawasan Asia Tenggara, Indonesia perlu melakukan penyederhanaan prosedur perizinan dan memastikan pelaksanaan sistem OSS efektif hingga tingkat daerah," kata Indra seperti dilansir Antara, Minggu (24/2).

 

Untuk mendukung implementasi OSS, lanjutnya, pemerintah perlu melakukan harmonisasi peraturan pemerintah pusat dengan peraturan daerah yang terkait dengan perizinan. Kondusifnya iklim usaha diharapkan bisa memunculkan unicorn (perusahaan rintisan dengan valuasi nilai di atas 1 miliar dolar AS) baru di Tanah Air.

 

Bermetamorfosa

Sementara itu, Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan PPATK, Ivan Yustiavandana, menyampaikan bahwa dalam menghadapi revolusi industri 4.0, pencucian uang juga telah bermetamorfosa khususnya dalam perkembangan perilaku (behaviour) para pelaku pencucian uang dengan memanfaatkan kemajuan teknologi seperti fintech, blockchain, big data/data scientist.

 

Dalam menghadapi segala perkembangan pencucian uang dan pendanaan terorisme, segala bentuk kebijakan dan sumber daya diharapkan dapat difokuskan pada area yang berisiko tinggi (Risk Based Approach).

 

(Baca Juga: OSS Tak Memangkas Wewenang Daerah? Begini Penjelasannya)

 

Pihak regulator dapat menerapkan Risk Based Supervision, pihak penegak jukum dapat menerapkan Risk Based Investigation, dan Pihak Industri dapat menerapkan Risk Based Approach dalam penerapan Know Your Customer  (KYC), monitoring dan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan. Hal tersebut dilakukan guna memitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme.

 

Menurut Ivan, hasil Mutual Evaluation Review (MER) Indonesia menunjukan bahwa masih terdapat beberapa Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang belum menerapkan Risk Based Approach (RBA) seperti Koperasi Simpan Pinjam dan Perposan.

 

Selain itu pada umumnya, pihak penyedia barang dan jasa (khususnya Real Estate dan Perusahaan Kendaraan Bermotor) serta jasa profesi (kecuali untuk beberapa perusahaan akuntan besar yang berafiliasi internasional) belum menerapkan langkah-langkah efektif untuk mengurangi risiko yang teridentifikasi dalam National Risk Assesment (NRA) dan Sectoral Risk Assesment (SRA).

 

“Kami berharap adanya dukungan dari seluruh stakeholders terkait dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia, khususnya dalam kegiatan NRA Update 2019 yang ditargetkan akan diselesaikan pada periode Juli 2019,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait