Yuk, Pahami Lagi Peraturan Dewan Pers Soal Panduan Peliputan Aksi Terorisme
Berita

Yuk, Pahami Lagi Peraturan Dewan Pers Soal Panduan Peliputan Aksi Terorisme

Dalam melakukan peliputan, jurnalis harus berpegang pada kode etik jurnalistik yang mengatur independensi, akurasi berita, keberimbangan, iktikad baik, informasi teruji, membedakan fakta dan opini, asas praduga tak bersalah, perlindungan terhadap narasumber dan orang-orang yang berisiko.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Yuk, Pahami Lagi Peraturan Dewan Pers Soal Panduan Peliputan Aksi Terorisme
Hukumonline

Pemberitaan mengenai terorisme hampir merajai semua media di Tanah Air saat ini. Mendapatkan berita atau foto ekslusif tentu menjadi nilai tersendiri bagi seorang jurnalis. Kendati demikian, perlu diingat kalau seorang jurnalis harus tetap memperhatikan keselamatan dirinya.

  

Seperti yang dialami dua wartawan yang akan melakukan peliputan pers rilis pengungkapan kasus narkoba di Markas Kepolisian Daerah Riau menjadi korban aksi teror di lokasi tersebut, Rabu (16/5). Kedua wartawan itu adalah Rian dan Rahmadi, seorang kameramen dari salah satu media nasional. "Ada teroris," ucap Rian saat bertemu Antara di lokasi.

 

Dari pantauan Antara di lokasi, Rian terlihat memegang perutnya dan sesekali meringis kesakitan akibat luka di wajahnya. Rian mengungkapkan bahwa dirinya tertabrak mobil yang kemudian diketahui milik terduga teroris yang menyerang Markas Polda Riau. Rian kemudian dibawa pihak kepolisian ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan pengobatan.

 

Hal serupa juga dialami Rahmadi yang mengalami lecet di bagian kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya. Antara belum sempat mewawancarai Rahmadi lantaran dirinya langsung dibawa polisi untuk mendapatkan perawatan.

 

Terkait insiden itu, Aliansi Jurnalis Independen Kota Tanjungpinang mengingatkan seluruh pewarta menaati pedoman liputan terorisme yang ditetapkan Dewan Pers, demi keamanan diri dan kesemalatan bangsa.

 

Ketua AJI Tanjungpinang, Jailani, mengatakan jurnalis memberitakan aksi terorisme semata-mata untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan lainnya. "Untuk itu, dalam melakukan peliputan, jurnalis harus berpegang pada kode etik jurnalistik yang mengatur independensi, akurasi berita, keberimbangan, iktikad baik, informasi teruji, membedakan fakta dan opini, asas praduga tak bersalah, perlindungan terhadap narasumber dan orang-orang yang berisiko," ujarnya seperti dilansir Antara, Senin (14/5).

 

Jailani mengemukakan, gambar dan video sadisme yang berhubungan dengan aksi terorisme di Surabaya menyebar luas di Tanjungpinang. Selain masyarakat umum, jurnalis juga mendapatkannya. (Baca Juga: Standar Abu-Abu Definisi Teroris, Nyata atau Disengaja?)

 

Bahkan ada oknum jurnalis yang menyebarluaskan video dan gambar tersebut. Video dan gambar sadisme itu membuat warga ketakutan. "Ada juga informasi hoaks terkait pengeboman di berbagai kawasan di Jakarta. Kami secara tegas menolak berita, informasi hoaks," ucapnya.

 

Ia mengingatkan bahwa Dewan Pers telah menetapkan 13 poin dalam pedoman liputan terorisme. Pedoman peliputan terorisme itu diterbitkan oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme:

 

  1. Wartawan selalu menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas di atas kepentingan berita. Saat meliput sebuah peristiwa terkait aksi terorisme yang dapat mengancam jiwa dan raga, wartawan harus membekali diri dengan peralatan untuk melindungi jiwanya.
  1. Wartawan selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan kepada aparat dan tidak bolehmenyembunyikan informasi itu dengan alasan untuk mendapatkan liputan eksklusif.  Wartawan bekerja untuk kepentingan publik sehingga keselamatan nyawa warga masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan berita.
  1. Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan.
  1. Wartawan dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/ detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme. Siaran secara langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time dan hal ini bisa membahayakan keselamatan anggota aparat yang sedang berupaya melumpuhkan para teroris.
  1. Wartawan dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, atau stigma yang tidak relevan, misalnya dengan menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku. Kejahatan terorime adalah kejahatan individu atau kelompok yang tidak terkait dengan agama ataupun etnis.
  1. Wartawan harus selalu menyebutkan kata ”terduga” terhadap orang yang ditangkap oleh aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap oleh aparat secara otomatis adalah pelaku tindak terorisme. Untuk menjunjung asas praduga tidak bersalah (presumption of innocense) dan menghindari pengadilan oleh pers (trial by the press) wartawan perlu mempertimbangkan penggunaan istilah “terperiksa” untuk mereka yang sedang diselidiki atau disidik oleh polisi, “terdakwa” untuk mereka yang sedang diadili, dan istilah “terpidana” untuk orang yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan.
  1. Wartawan wajib menghindari mengungkap rincian modus operandi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokasi yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.
  1. Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban jiwa.
  1. Wartawan wajib menghindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali dimaksudkan untuk menghentikan tindakan diskriminasi yang ada dan mendorong agar ada perhatian khusus misalnya terhadap penelantaran anak-anak terduga teroris yang bila dibiarkan akan berpotensi tumbuh menjadi teroris baru.
  1. Terkait dengan kasus-kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kejutan yang menimpa seseorang, pertanyaan dan pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian dengan menemui korban keluarga korban maupun keluarga pelaku harus dilakukan secara simpatik dan bijak.
  1. Wartawan dalam memilih pengamat sebagai narasumber wajib selalu memperhatikan kredibilitas, kapabilitas dan kompetensi terkait latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman narasumber yang relevan dengan halhal yang akan memperjelas dan memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.
  1. Dalam hal wartawan menerima undangan meliput sebuah tindakan aksi terorisme, wartawan perlu memikirkan ulang untuk melakukannya. Kalau undangan terkait dengan rencana aksi pengeboman atau aksi bom bunuh diri sebaiknya wartawan tak perlu memenuhinya, karena hal itu dapat dipandang sebagai cara memperkuat pesan teroris dan mengindikasikan ada kerja sama dalam sebuah tindakan kejahatan. Wartawan menyampaikan rencana tindak/aksi terorisme kepada aparat hukum.
  1. Wartawan wajib selalu melakukan check dan rechek terhadap semua berita tentang rencana maupun tindakan dan aksi terorisme ataupun penanganan aparat hukum terhadap jaringan terorisme untuk mengetahui apakah berita yang ada hanya sebuah isu atau hanya sebuah balon isu (hoax) yang sengaja dibuat untuk menciptakan kecemasan dan kepanikan. Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Peliputan terorisme ini diselesaikan oleh Dewan Pers.

 

Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Kalimantan Selatan, Budi Ismanto, meminta rekan wartawan khususnya jurnalis TV agar tidak mengeksploitasi visual berdarah korban tragedi bom di layar kaca.

 

"Menyikapi peristiwa pengeboman di Gereja di Surabaya, kami meminta seluruh jurnalis TV berpegang teguh pada kode etik dan P3SPS dalam meliput peristiwa teror bom," kata Budi seperti dikutip Antara di Banjarmasin, Minggu (13/5).

 

(Baca Juga: Kegentingan Memaksa Terpenuhi, Ahli Setuju Presiden Terbitkan Perppu Anti Terorisme)

 

Dia pun menyerukan agar wartawan bisa memverifikasi dan mengkonfirmasi setiap informasi terkait teror bom secara benar sebelum dipublikasi. Kemudian, agar tidak ikut menyebarkan gambar atau video korban teror bom di media sosial atau aplikasi percakapan.

 

Selain menggali persoalan teror yang sebenarnya, kata Budi, jurnalis harus mendorong dan mendukung aparat kepolisian menangani kasus ini secara menyeluruh dan tuntas. "Rekan-rekan jurnalis harus ikut serta menjaga stabilitas nasional, dengan terus menumbuhkan harapan serta tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat," jelasnya.

 

Untuk itu, dia juga meminta rekan wartawan tidak menggunakan narasumber yang bisa memperkeruh situasi. "Pada prinsipnya IJTI mengutuk keras tindakan biadab pelaku pengeboman. Terorisme adalah kejahatan luar biasa dan tidak dibenarkan oleh agama manapun," tandasnya.

 

Tidak Berlebihan

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengingatkan pewarta semestinya lebih peka dan tidak berlebihan dalam melakukan peliputan aksi terorisme agar tidak menimbulkan kepanikan masyarakat. "Diperlukan kepekaan jurnalistik untuk mana yang boleh atau tidak, di luar kode etik, ada di hati nurani wartawan," kata Yosep dalam diskusi Forum Media Barat 9 di Gedung Kominfo, Jakarta, Rabu (16/5).

 

Media massa adalah oksigen untuk tindakan terorisme, kata Yosep, karena unsur kejut yang diberikan aksi teror akan membesar dengan pemberitaan media. Selain meminta media tidak memberitakan aksi teror secara berulang-ulang sehingga menimbulkan efek mencekam, Dewan Pers juga mengingatkan untuk selalu melakukan verifikasi dan klarifikasi saat menerima suatu informasi.

 

Untuk itu, dia mengingatkan media massa agar berhati-hati dalam peliputan terorisme sehingga jangan sampai pesan terorisme yang ingin menebar ketakutan tersampaikan ke masyarakat. Ia pun menyayangkan adanya peliputan yang kurang bijaksana seperti memaparkan korban selamat yang dapat mengancam keselamatannya serta pendapat tetangga atau saudara mengenai kehidupan sehari-hari terduga teroris.

 

"Apa relevansi mengorek keterangan itu? Kejahatan sesesorang tidak ditanggung oleh keluarganya," tutur Yosep.

 

Rating menjadi hal utama yang diperhatikan, sehingga media televisi ingin menampilkan apa pun yang ditonton khalayak. Dengan rating tinggi, akan membawa iklan masuk. "Hubungan itu harus diputus. Komunitas pers setuju pemimpin media adalah wartawan yang punya kompetensi," ucap dia.

 

Pewarta disarankan mengikuti pelatihan atau lokakarya untuk meningkatkan kompetensinya dan redaksi memiliki kebebasan dalam memilih jurnalisme yang ingin dikembangkan. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait