Ahli: Larangan Politik Dinasti Tidak Proporsional
Berita

Ahli: Larangan Politik Dinasti Tidak Proporsional

Membatasi hak keluarga petahana dalam proses pencalonan pilkada merupakan kebijakan yang amat tidak tepat.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar HTN, Saldi Isra. Foto: SGP
Pakar HTN, Saldi Isra. Foto: SGP
    Karena itu, “Pembatasan tersebut telah memberikan stigma bagi keluarga petahana. Padahal petahana bukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSako) ini.  

“Pembatasan kekuasaan petahana agar tidak disalahgunakan seharusnya fokus pada kekuasaan yang dipegangnya, bukan ditujukan pada pihak lain (keluarga petahan) dan diatur secara proporsional,” lanjutnya.

Karena itu, membatasi hak keluarga petahana dalam proses pencalonan pilkada merupakan kebijakan yang amat tidak tepat. Sebab, keluarga petahana bukan pemegang kuasa yang tidak mungkin menyalahgunakan kekuasaan. Atas dasar itu, tidak ada alasan untuk membatasi hak keluarga petahana untuk maju dalam pilkada.  

Sementara, DPR memandang semangat pemberlakukan norma konflik kepentingan dengan petahana dalam UU Pilkada ditujukan untuk memperbaiki kualitas pemilihan kepala daerah agar suksesi kepemimpinan lebih berbudaya dan bermoral. 

Anggota Komisi III DPR, John Kennedy Aziz menerangkan definisi konflik kepentingan telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam UU Administrasi Pemerintahan disebutkan konflik kepentingan merupakan kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam penggunaan wewenangnya.

“Sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan atau tindakan yang dilakukannya,” terang John dalam persidangan.

Dalam keterangan tambahan DPR ini, terhadap semua uji materi yang dipersoalkan sejumlah warga negara yang dianggap diskriminasi terhadap warga negara atau tidak, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah. “Kita menyerahkannya sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutuskan,” katanya.

Sebelumnya, permohonan pengujian Pasal 7 huruf r berikut penjelasan dan Pasal 7 huruf s UU Pilkada terkait syarat pemberitahuan anggota legislatif kepada pimpinannya dan syarat larangan bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana dipersoalkan ke MK. Pemohonnya, Adnan Purichta Ichsan (putra Bupati Gowa Sulsel, Ichsan Yasin Limpo), Aji Sumarno (menantu Bupati Selayar SulselSyahrir Wahab), Lanosin (adik kandung Bupati Petahana Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan), dan Ali Nurdin (Bakal Calon Bupati Pandeglang), serta pemohon lainnya.

Para pemohon meminta agar syarat calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dihapus karena diskriminatif dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Syarat itu lebih pada pertimbangan politis dan asumtif. Seolah-olah, setiap calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan petahana dipastikan akan membangun dinasti politik yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa.
 
MK memberi tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 7 huruf s UU Pilkada. Sebab, ketentuan itu dinilai diskriminatif dan tidak adil bagi calon kepala daerah yang berasal PNS, Polri, TNI, pejabat BUMN, atau petahana yang mensyaratkan harus mengundurkan diri ketika mendaftar. Karena itu, pasal itu minta dimaknai “memberitahukan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPRD, DPD, dan anggota DPR sejak ditetapkan sebagai calon, bukan saat mendaftarkan diri sebagai calon. Atau dimaknai “memberitahukan pengunduran diri karena pencalonannya sebagai kepala daerah kepada Pimpinan  DPR, Pimpinan DPD, atau Pimpinan DPRD”.
 
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Prof Saldi Isra menilai membatasi hak politik keluarga petahana dalam kontestasi pilkada merupakan pengaturan yang jauh dari proporsional dan berlebihan sekalipun hanya satu periode. Sebab, seharusnya objek yang dibatasi petahana yang memegang jabatan politiknya kepala daerah atau wakilnya, bukan keluarga petahana.  

“Pembatasan juga seharusnya berkisar pada kekuasaan petahana agar tidak menggunakan segala macam fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya dalam pilkada,” ujar Saldi saat menjadi ahli dalam sidang lanjutan UU Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/5). 

Menurutnya, pilkada mungkin saja berjalan tidak adil ketika petahana menyalahgunakan kekuasaannya. Sebaliknya, pilkada bisa berjalan lebih adil ketika petahana tidak menggunakan kuasanya untuk memenangkan salah satu pihak keluarganya. “Jadi, adil atau tidaknya pilkada tergantung pada penyalahgunaan kekuasaan petahana, bukan karena keluarga petaha menjadi peserta dalam pilkada,” tegasnya.  

aturan larangan politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) membatasi hak konstitusional warga negara yang berstatus keluarga petahana. Hal ini bertentangan dengan hak turut serta dalam pemerintahan, hak dipilih dan memilih, hak atas persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan, dan hak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan yang dijamin UUD 1945. 



Menurut Saldi, jabatan petahana dianggap sebagai posisi jabatan yang rawan disalahgunakan dibandingkan jabatan politik lainnya. Karena itu, pembentuk undang-undang merasa perlu memberi beberapa batasan agar jabatan kepala daerah sebagai petahana tidak disalahgunakan.
Tags:

Berita Terkait