Berdasarkan kronologi yang Anda sampaikan, dalam kasus ini terdapat 3 pihak:
- A sebagai debitur;
- Anda sebagai kreditur; dan
- C sebagai pihak ketiga dalam perjanjian utang-piutang antara Anda dan A.
Dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas kepribadian[1] yang berarti perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri, kecuali dalam hal terjadi derden beding atau janji bagi kepentingan pihak ketiga.[2]
Berdasarkan asas tersebut, dalam konteks pertanyaan Anda, karena C bukanlah pihak dalam perjanjian utang piutang antara Anda dengan A, maka secara umum C tidak berhak untuk melakukan penagihan piutang Anda terhadap A, kecuali jika C mendapatkan kuasa khusus dari Anda untuk melakukan penagihan atau terjadi peralihan piutang melalui cessie.
Mengenai Cessie
Cessie merupakan penyerahan tagihan atas nama yang dikenal dalam Pasal 613 KUH Perdata, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta autentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu.
Mengenai maksud kata ‘atas nama’ dalam pasal tersebut, J. Satrio dalam bukunya Cessie Tagihan Atas Nama (hal. 19), menjelaskan bahwa ‘atas nama’ tidak berarti bahwa tagihan harus terdaftar atas nama orang tertentu atau tidak harus dituangkan dalam dokumen tertentu, melainkan bahwa kreditur, orangnya, adalah tertentu. Maksudnya debitur mengetahui siapa krediturnya. Dalam kasus ini, diketahui dengan jelas bahwa krediturnya ialah Anda.
Peralihan tagihan atas nama tersebut dituangkan dalam suatu akta, baik akta otentik ataupun akta di bawah tangan, dan selanjutnya diberitahukan kepada A selaku debitur (cessus) untuk sekedar diketahui atau disetujui bahwa kedudukan Anda selaku kreditur lama (cedent) telah digantikan oleh C selaku kreditur baru (cessionaris).
Sejalan dengan penjelasan di atas, dalam artikel Permasalahan Cessie dan Subrogasi dijelaskan bahwa menurut Prof. Subekti, cessie adalah pemindahan hak piutang, yang sebetulnya merupakan penggantian orang berpiutang lama dengan seseorang berpiutang baru.
Sebagai akibat hukum dari penerimaan hak secara derivatif tersebut, maka dengan adanya cessie, C dapat melakukan penagihan piutang kepada A, karena C merupakan kreditur baru dari A.
Apakah Polisi Boleh Menagih Piutang?
Dalam kedudukan C sebagai seorang anggota Kepolisian, ia tidak diperkenankan menggunakan jabatannya untuk menagih piutang Anda kepada A. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 5 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”) yang selengkapnya mengatur :
Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
(h) menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang.
Apabila C melanggar peraturan disiplin tersebut, maka A sebagai debitur yang dirugikan dapat melaporkannya kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (“Divpropam”) Kepolisian Republik Indonesia untuk dapat dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.[3]
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
J Satrio, Cessie Tagihan Atas Nama, (Jakarta: Yayasan DNC), 2012.
[1] Pasal 1315 jo. Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
[2] Pasal 1317 KUH Perdata
[3] Pasal 7 PP 2/2003