Saya sering mendapatkan telepon dari bank menawarkan produk asuransi yang pembayaran preminya diambil dari saldo rekening. Teman saya bahkan saldonya langsung terpotong setelah beberapa waktu setelah menerima telepon itu. Padahal tidak ada perjanjian tertulis. Katanya persetujuannya dianggap sah dari telepon yang direkam itu. Yang menjadi pertanyaan: (1) Apakah sah perjanjian asuransi yang dibuat melalui telepon tersebut? Karena terkesan menjebak calon nasabah. Nasabah tidak diberi waktu yang cukup untuk mempelajari layanan, ketentuan dan batasan dari produk asuransi tersebut. (2) Apakah boleh merekam pembicaraan tanpa izin untuk kemudian dijadikan dasar yang berkekuatan hukum untuk melakukan perjanjian?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Aktivitas kerja sama antara perusahaan asuransi/asuransi syariah dengan bank dalam rangka memasarkan produk asuransi melalui bank sebagaimana yang Anda sebutkan disebut dengan bancassurance.
Dalam kegiatan bancassurance tersebut dapat menggunakan komunikasi jarak jauh, salah satunya telemarketing. Lantas, bagaimana keabsahan dan kekuatan hukum perjanjian asuransi antara bank dengan nasabah/calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang dilakukan melalui telepon (telemarketing)?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Rekaman Pembicaraan Telepon Bisa Jadi Bukti Perjanjian Bank dengan Nasabah yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Sabtu, 2 Juli 2011.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Telemarketing dalam Bancassurance
Kerja sama pemasaran antara bank dengan perusahaan asuransi yang Anda sampaikan biasa disebut dengan bancassurance. Menurut SE OJK 31/2022, bancassurance adalah aktivitas kerja sama antara perusahaan asuransi/asuransi syariah dengan bank dalam rangka memasarkan produk asuransi melalui bank.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam bancassurance, hubungan hukum antara perusahaan asuransi dengan bank adalah hubungan keagenan, dimana bank sebagai sales representative meski
secara hukum bank tidak menggantikan posisi perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung dalam bancassurance.
Pada perkembangannya, praktik bancassurance dilakukan dengan menggunakan sarana komunikasi jarak jauh, salah satunya via telepon atau telemarketing. Telemarketing dilakukan untuk bancassurance model bisnis distribusi dan integrasi produk.[2]
Model bisnis distribusi dalam bancassurance adalah model dimana bank memasarkan produk asuransi dengan cara menjelaskan produk asuransi secara langsung kepada nasabah bank dan meneruskan minat atau permohonan penutupan produk asuransi dari nasabah bank uang menjadi calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta kepada perusahaan.[3]
Sedangkan model bisnis integrasi produk adalah bank berperan memasarkan produk asuransi kepada nasabah bank yang menjadi calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan cara modifikasi dan/atau menggabungkan produk asuransi dengan produk perbankan (bundled product). Dalam integrasi produk ini, bank juga menindaklanjuti aplikasi atas bundled project yang terkait dengan produk asuransi kepada perusahaan.[4]
Keabsahan Perjanjian Asuransi via Telemarketing
Perjanjian antara bank atau perusahaan asuransi tetap harus memenuhi unsur syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu, perjanjian antara bank/asuransi dengan nasabah via telemarketing juga perlu ditinjau dari perspektif asas-asas perjanjian, sebagai berikut.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme atau persesuaian kehendak yang terdapat pada syarat pertama perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu kesepakatan.
Konsensual artinya perjanjian itu terjadi ketika kedua belah pihak ada kata sepakat, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum sejak terjadinya kesepakatan antara para pihak mengenai isi perjanjian yang dimaksudkan. Asas ini menekankan kesepakatan dalam perjanjian sebagai sumber utama.
Dalam perjanjian asuransi melalui telemarketing, asas konsensualisme ini rawan tidak terpenuhi. Lebih lanjut, dijelaskan di dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi:
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Kesepakatan yang di dalamnya terdapat unsur kekhilafan (syarat subjektif), maka perjanjian tersebut dianggap tidak sempurna dan dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang mempunyai hak untuk meminta pembatalan, yang dalam kasus ini adalah nasabah.
Asas Kebebasan Berkontrak
Pada dasarnya, dalam KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hal ini, maka perjanjian asuransi melalui telemarketing dapat diakui keberadaannya.
Asas Pacta Sunt Servanda.
Asas ini berhubungan dengan akibat dari perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa segala perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak akan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak atau karena terdapat adanya alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Dalam hal perjanjian asuransi melalui telemarketing tidak memenuhi asas konsensualisme yang juga merupakan syarat sahnya perjanjian, maka asas pacta sunt servanda juga tidak dapat terpenuhi.
Asas Itikad Baik(Good Faith/Tegoeder Trouw)
Asas ini merujuk pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik.
Asas iktikad baik didasarkan pada kepercayaan para pihak yang berperan penting agar tidak ada yang merasakan dirugikan satu sama lain.
Dalam kasus perjanjian asuransi yang dilakukan melalui telemarketing sampai terjadi keadaan dimana konsumen merasa tertipu atau merasa terjebak dikarenakan penyampaian informasi yang tidak utuh, maka dapat dikatakan asas iktikad baik ini tidak terpenuhi.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam perjanjian asuransi melalui telemarketing ini beberapa asas-asas perjanjian yang harus ada dan mutlak dalam pelaksanaan pembuatan kontrak baik secara konvensional maupun elektronik, rentan tidak terpenuhi.
KekuatanHukum Perjanjian Asuransi via Telemarketing
Ketentuan mengenai rekaman pembicaraan telepon melalui telemarketing sebagai alat bukti, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITEyang berbunyi:
Informasi Elektornik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Dalam Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, dinyatakan bahwa frasa “informasi elektronik dan dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “informasi elektronik dan dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas adanya permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya (hal. 97 – 98) Oleh karenanya, untuk menjadi alat bukti yang sah, dokumen elektronik yang di dalamnya berupa isi rekaman pembicaraan harus atas adanya permintaan penegak hukum.
Lebih lanjut, dalam Pasal 6 UU ITE diatur bahwa:
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau lisan, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dengan demikian, pada dasarnya rekaman telepon dianggap sah kecuali jika suatu perjanjian memang disyaratkan untuk tertulis, sepanjang dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk menerangkan suatu keadaan.
Lebih lanjut, dalam pemasaran melalui telemarketing, pihak bank harus memenuhi ketentuan dalam POJK 6/2022[5]di antaranya adalah sebagai berikut.
Pelaku usaha jasa keuangan (“PUJK”) dilarang mewajibkan persetujuan penawaran produk/layanan melalui sarana komunikasi sebagai syarat penggunaan produk/layanan.[6]
PUJK wajib mendokumentasikan rekaman penawaran produk/layanan jika calon konsumen menyetujui penawaran produk/layanan dan wajib memberikan akses atas hasil rekamannya.[7]
Memberikan masa jeda atas suatu produk/layanan minimal 2 hari setelah konsumen menyetujui perjanjian. Contoh menyetujui perjanjian yaitu persetujuan melalui telemarketing, persetujuan melalui media elektronik, atau penandatanganan perjanjian.[8]
Patut diperhatikan bahwa pada model bisnis distribusi dan integrasi produk, bank harus memastikan nasabah memahami penjelasan mengenai manfaat dan risiko produk, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis sebagaimana tercantum dalam dokumen pemasaran/penawaran, dan hal tersebut harus dituangkan dalam dokumen tertulis dan ditandatangani oleh nasabah dengan menggunakan tanda tangan basah.[9]
Adapun, rekaman pembicaraan telepon dalam perjanjian asuransi melalui telemarketing tersebut dapat dijadikan alat bukti persangkaan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Alat bukti kategori ini dapat dikatakan memiliki kekuatan hukum yang sempurna dengan disertai pengajuan alat bukti lain seperti alat bukti tertulis untuk lebih menguatkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam hal rekaman pembicaraan telepon hendak dijadikan sebagai bukti suatu perjanjian, maka hal tersebut dapat dilakukan apabila syarat sah suatu perjanjian terpenuhi. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa bank harus memastikan nasabah paham akan produk/layanan yang ditawarkan dan hal tersebut wajib dituangkan dalam dokumen tertulis dan ditandatangani oleh nasabah.
Sementara, jika hendak dijadikan sebagai alat bukti dalam gugatan keperdataan di pengadilan, maka penilaian keabsahan alat bukti elektronik tersebut menjadi kewenangan majelis hakim dalam memberikan pertimbangan.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.