Ketidaksengajaan dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Sebelumnya, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan kecelakaan lalu lintas menurut undang-undang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), kecelakaan lalu lintas adalah:
Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda
Sehingga, dari pengertian di atas, kecelakaan lalu lintas yang adik Anda alami bukan merupakan kecelakaan tunggal.
Merujuk pada Pasal 1 angka 24 UU LLAJ di atas, menurut hemat kami, adik Anda adalah penyebab terjadinya peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut yang dilakukan secara tidak sengaja, sehingga mengakibatkan pengguna jalan lain menjadi korban hingga mengalami luka-luka.
Dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut, adik Anda dapat dijerat Pasal 310 ayat (2) UU LLAJ:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)
Meskipun adik Anda tidak sengaja membuat terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut, namun secara hukum, yang bersangkutan tetap bersalah karena telah lalai, kurang hati-hati atau kurang perhatian. Dalam hukum pidana, perbuatan semacam ini diklasifikasikan sebagai suatu delik culpa atau kelalaian.
Merujuk pada Pasal 310 ayat (2) UU LLAJ di atas, kelalaian adik Anda yang telah menyebabkan timbulnya korban luka ringan bisa diancam pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp2 juta.
Namun, kelalaian ini tetap harus dibuktikan terlebih dahulu dalam proses persidangan.
Apabila korban mau menyelesaikan perkara ini secara musyawarah kekeluargaan atau mediasi damai, maka akan berdampak baik bagi adik Anda.
Yang perlu Anda pahami adalah dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, hak menuntut korban tidak menjadi gugur meskipun telah dilakukan mediasi dan tercapai kesepatan perdamaian, karena pembayaran ganti rugi berupa uang pengganti biaya berobat atau yang lainnya pada dasarnya bukan merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana.
Apabila korban tetap menggunakan haknya untuk melaporkan adik Anda, maka adanya upaya perdamaian dengan korban tersebut hanya akan menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memeriksa di pengadilan kelak sebagai hal yang bisa meringankan hukuman adik Anda.
Dengan demikian, kami sarankan agar upaya kekeluargaan dengan bermusyawarah dengan si korban dapat Anda pergunakan sebaik-baiknya. Harapannya adalah korban mau memaafkan adik Anda dan mau berdamai untuk tidak melaporkan adik Anda kepada pihak kepolisian.
Jika Anda tidak mampu menyanggupi permintaan dari korban untuk membayar ganti rugi dan sejumlah uang lainnya, maka kami menyarankan untuk Anda membicarakannya secara baik-baik dengan pihak korban.
Hal ini dikarenakan posisi adik Anda adalah pihak yang bersalah yang telah menyebabkan korban menderita kerugiaan berupa luka-luka, sehingga sudah sepatutnya pihak Anda yang proaktif untuk membujuk korban.
Dugaan Pemerasan
Menurut hemat kami, tidak ada unsur pemerasan seperti yang diatur Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengenai permintaan korban kepada Anda atau adik Anda untuk membayar ganti rugi dan sejumlah uang lainnya, kecuali memang perbuatan korban memenuhi unsur pasal terkait, misalnya jumlah uang yang diminta dan penggunaannya tidak relevan dengan akibat kecelakaan lalu lintas.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi:
Pasal 368 ayat (1) KUHP
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menegaskan bahwa dalam pemerasan, perbuatannya harus dilakukan dengan melawan hak (hal. 256).
Hal ini berarti perbuatan dilakukan dengan melawan hukum, tidak dengan hak, atau bertentangan dengan hukum (hal. 256).
Menurut hemat kami, permintaan tersebut adalah hal yang wajar untuk disampaikan dalam proses perundingan. Permintaan tersebut bisa Anda penuhi atau Anda juga berhak menolaknya dengan tentu mengingat pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah kami sampaikan di atas.
Baca juga: Adakah Ukuran Kelalaian dalam Hukum Pidana?
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.