Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas dan kekuasaannya bebas dari intervensi siapapun. Tetapi dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berarti logikanya hakim tidak ‘INDEPENDEN’ dalam menjatuhkan putusan, padahal Pasal 27 UUD 1945 menghendaki hakim independen dan mandiri. Pertanyaan saya adalah apakah eksistensi Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tidak kontradiktif dengan Pasal 27 UUD 1945?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan, yang pada dasarnya ingin melihat hubungan antara independensi hakim yang dijamin konstitusi dengan keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Rumusan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (“UUD 1945”) adalah “Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan, UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan ‘hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat’. Rumusan ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 35 Tahun 1999.
Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan: “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Patut dicatat bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 muncul pada amandemen ketiga (2001). Setelah amandemen, UU Kekuasaan Kehakiman mengalami perubahan lagi, menjadi UU No. 4 Tahun 2004. Pasal 28 ayat (1) UU No. 8 Tahun 204 menyebutkan agar dalam menjatuhkan putusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terbaru adalah UU No. 48 Tahun 2009. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan juga: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Mantan hakim agung, J. Johansyah (2010: 74), menggarisbawahi bahwa independensi dalam rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan penyelenggaraan peradilan. Di sini pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu sengketa hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam Pasal konstitusi tersebut adalah ‘berdasarkan hukum dan keadilan’.
Pentingnya jaminan independensi kekuasaan kehakiman dalam konstitusi sebenarnya sudah lama didorong agar lebih kuat (KRHN dan LeIP, 1999), apalagi merujuk pada pengalaman selama ini kekuasaan sering mengintervensi hakim. Menjaga independensi hakim memang tidak mudah.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, kata Bagir Manan (2009: 83) diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Pengadilan atau hakim harus independen tidak hanya terhadap cabang kekuasaan lain, tetapi juga dengan pihak-pihak yang berperkara.
Independensi hakim itu bisa bersifat normatif, bisa juga bersifat realita. Kedua independensi itu tidak bisa dipisahkan (Muchsin, 2004: 10). Ada juga yang membedakan independensi dalam arti sempit dan arti luas. Pada dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tak semata independensi kelembagaan, tetapi juga independensi personal hakim. Independensi hakim karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di pengadilan dan berdasarkan hukum.
Tentu saja, dalam memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, dalam konteks Indonesia, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, rumusan keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus dibaca. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Lagipula, penting diingat bahwa undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum. Kebiasaan dalam masyarakat juga merupakan sumber hukum. Dengan demikian, hakim bisa menggunakan kebiasaan sebagai rujukan.
Meskipun UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tak selamanya hakim tunduk pada keharusan itu. Bahkan, kadangkala hakim ‘menabrak’ nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan. Misalnya, putusan MA No. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan lagi.
Demikian jawaban singkat kami, mudah-mudahan bermanfaat. Untuk memastikan apakah UU Kekuasaan Kehakiman yang Anda sebut bertentangan atau tidak dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kami sarankan Anda mengajukan permohonan hak uji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bagir Manan. Menegakkan Hukum, Suatu Pencarian. Jakarta, Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.
J. Johansyah, “Independensi Hakim di Tengah Benturan Politik dan Kekuasaan”, dalam Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara. Jakarta: Komisi Yudisial, 2010, hal. 63-104.
KRHN dan LeIP. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Position Paper. Jakarta: KRHN-LeIP, 1999.
Muchsin. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi. Jakarta: STIH IBLAM, 2004.