Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang ditulis olehĀ Abi Jamāan Kurnia, S.H.Ā dan dipublikasikan pada Jumat, 10 Agustus 2018.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatĀ Pernyataan PenyangkalanĀ selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganĀ Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Penipuan Digital
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa SMS atau Short Message Service merupakan salah satu komunikasi dengan teks melalui perangkat bergerak atau mobile device.[1] Sedangkan WhatsApp sendiri adalah aplikasi berbasis internet yang dimanfaatkan sebagai media komunikasi.[2]
Berdasarkan informasi yang Anda sampaikan, kami asumsikan hal ini termasuk dalam penipuan digital yang dilakukan lewat telepon seluler. Apa itu penipuan digital? Pada dasarnya, penipuan digital terjadi ketika seseorang (korban) menggunakan internet untuk menyediakan dana atau informasi pribadi yang menanggapi penipuan, pemberitahuan, penawaran atau permintaan, yang selanjutnya menyebabkan korban mengalami kerugian finansial atau non-finansial.[3] Kemudian, beberapa contoh penipuan digital adalah penipuan jual beli barang, penipuan pinjaman online, penipuan berkedok hadiah dan amal, penipuan berkedok krisis keluarga (misalnya berita bohong/hoaks keluarga sakit/kecelakaan), dan lain-lain.[4]
Baca juga: Penipuan melaluiĀ WhatsappĀ Berbau Pornografi
Selanjutnya akan kami jelaskan satu per satu terkait jerat pasal penipuan berdasarkanĀ KUHPĀ maupunĀ UU ITEĀ dan perubahannya.
Pasal Penipuan dalam KUHP
Pada dasarnya, tindak pidana penipuan telah diatur dalam ketentuanĀ KUHPĀ lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan danĀ UU 1/2023Ā yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan[5], yakniĀ pada tahun 2026, yaitu pada pasal:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karenaĀ penipuanĀ dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. | Pasal 492 Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karenaĀ penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[6] |
Menurut R. Sugandhi, unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam pasal penipuan pada intinya adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.[7]
Lebih lanjut menurutĀ R. SoesiloĀ dalam buku berjudulĀ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi PasalĀ (hal. 261),Ā kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan āpenipuanā, yang mana penipu itu pekerjaannya:
- membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
- maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
- membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat),Ā atau karangan perkataan bohong.
Adapun berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku. Ā
Baca juga: Perbedaan Penipuan dan Penggelapan
Pasal Penipuan dalam UU ITE
Selanjutnya menyambung pernyataan Anda,Ā pasal penipuan yang diatur dalamĀ UU ITEĀ terdapat dalamĀ Pasal 28 ayat (1)Ā yang berbunyi:
SetiapĀ orangĀ dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalamĀ Transaksi Elektronik.
Kemudian, orang yang melanggar ketentuan di atas berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.
Sebagai informasi, hal yang membedakan tindak pidana penipuan dalam KUHP dengan UU ITE adalah untuk dapat dijerat berdasarkan UU ITE, penipuanĀ harus menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atauĀ media elektronik lainnya.[8]
Namun, sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang termasuk ke dalam media elektronik lainnya. Apakah telepon seluler termasuk ke dalamnya?
Disarikan dari artikel Cara Melaporkan Penipuan via Telepon, LampiranĀ SKB UU ITEĀ merinci mengenai pengenaan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (hal. 16-17) sebagai berikut:
- Delik pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita hoaks secara umum, melainkan menyebarkan berita hoaksĀ dalam konteks transaksi elektronikĀ seperti transaksi perdagangan daring.
- Berita hoaks iniĀ dikirimkan atau diunggahĀ melaluiĀ layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (marketplace), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melaluiĀ sistem elektronik.
- Bentuk transaksi elektronik bisa berupaĀ perikatan antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen/pembeli.
- Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak bisa dikenakan pada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atauĀ force majeure.
- Karena merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.
- Definisi ākonsumenā mengacu padaĀ UU Perlindungan Konsumen.
Maka, menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan SKB UU ITE, dapat kita ketahui bahwa media telepon tidak disebutkan secara tegas, sehingga menurut hemat kami, jika perbuatan pelaku penipuan tidak termasuk dalam unsur pasal UU ITE, maka pelaku penipuan via SMS/WhatsApp tetap bisa dijerat menggunakan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka seseorang baru dapat dikatakan telah melakukan tindak penipuan jika unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 terpenuhi.[9] Namun, menurut hemat kami, tidak menutup kemungkinan penegak hukum dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan dalam KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, jika memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal penipuan dalam KUHP dan UU ITE serta perubahannya.
Baca juga: Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi ElektronikĀ sebagaimana diubah denganĀ Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Referensi:
- H. Dudung Mulyadi. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli Tanah. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 5, No. 2, September 2017.
- Mira Afrina dan Ali Ibrahim. Pengembangan Sistem Informasi SMS Gateway Dalam Meningkatkan Layanan Komunikasi Sekitar Akademika Fakultas Ilmu Komputer Unsri. Jurnal Sistem Informasi, Vol. 7, No. 2, 2015;
- Novia Kurnia (et.al). Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi. Yogyakarta: Prodi Magister Ilmu Komunikasi, FISIP, UGM, 2022;
- Rahartri. WhatsApp Media Komunikasi Efektif Masa Kini (Studi Kasus Pada Layanan Jasa Informasi Ilmiah di Kawasan PUSPIPTEK). Jurnal Visi Pustaka, Vol. 21, No. 2, 2019;
- R. Soesilo.Ā Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986;
- R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980;
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks, diakses pada Kamis, 14 September 2023, pukul 16.06 WIB.
[1] Mira Afrina dan Ali Ibrahim. Pengembangan Sistem Informasi SMS Gateway Dalam Meningkatkan Layanan Komunikasi Sekitar Akademika Fakultas Ilmu Komputer Unsri. Jurnal Sistem Informasi, Vol. 7, No. 2, 2015, hal. 825.
[2] Rahartri. WhatsApp Media Komunikasi Efektif Masa Kini (Studi Kasus Pada Layanan Jasa Informasi Ilmiah di Kawasan PUSPIPTEK). Jurnal Visi Pustaka, Vol. 21, No. 2, 2019, hal. 147.
[3] Novia Kurnia (et.al). Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi. Yogyakarta: Prodi Magister Ilmu Komunikasi, FISIP, UGM, 2022, hal. 17.
[4] Novia Kurnia (et.al). Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi. Yogyakarta: Prodi Magister Ilmu Komunikasi, FISIP, UGM, 2022, hal. 61-62.
[6] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023.
[7] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 1980, hal. 396-397.
[9] H. Dudung Mulyadi. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli Tanah. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 5, No. 2, September 2017, hal. 213-214.