Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Rohana Amelia Putri Handayani, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 30 Desember 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perceraian
Sebelumnya, dikarenakan Anda tidak memberikan penjelasan mengenai di mana pasangan tersebut bertempat tinggal saat ini, kami asumsikan bahwa pasangan tersebut masih bertempat tinggal di luar negeri.
Menurut Pasal 38 huruf b UU Perkawinan, perceraian adalah salah satu bentuk dari sebab putusnya suatu perkawinan. Perceraian hanya dapat terjadi apabila terdapat cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi. Hal tersebut tercantum pada Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:[1]
- salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
- salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
- salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
- antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
- suami melanggar taklik talak;
- peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Namun demikian, sekalipun terdapat alasan untuk mengajukan perceraian, pengadilan harus terlebih dahulu berusaha mendamaikan suami istri. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Yang dimaksud dengan pengadilan dalam ketentuan tersebut adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya.[2]
Perceraian Pasangan yang Tinggal di Luar Negeri
Sehubungan dengan tempat kedudukan suami atau istri di luar negeri, perlu Anda ketahui Pasal 73 ayat (3) UU Peradilan Agama, mengatur bahwa:
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berdasarkan cerita Anda, pernikahan dilangsungkan dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) di Bali. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, gugatan cerai dapat diajukan kepada pengadilan agama di tempat pernikahan pasangan tersebut dicatat atau di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Sementara untuk gugatannya sendiri dibuat dalam bahasa Indonesia. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada kewajiban untuk menerjemahkannya dalam bahasa asing.
Selanjutnya terkait berkas yang harus disiapkan untuk syarat pengajuan gugatan cerai selengkapnya dapat Anda baca dalam Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
[2] Pasal 63 ayat (1) UU Perkawinan