4 Catatan Koalisi Untuk Reformasi Polri
Terbaru

4 Catatan Koalisi Untuk Reformasi Polri

Antara lain mendesak Presiden segera membentuk Tim Independen Percepatan Reformasi Polisi yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, untuk memastikan reformasi terjadi di semua aspek Kepolisian.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Berbagai perkara yang melibatkan aparat kepolisian menjadi corengan hitam dalam penegakan hukum. Menjadi soal ketika perkara yang menyandung aparat kepolisian tak banyak yang diusut tuntas. Hal itu menjadi catatan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur, mengatakan Polri tak pernah mengoreksi dan mengevaluasi institusinya secara serius. Institusi kepolisian seolah mentup kuping tak mendengarkan kritik dari masyarakat. Padahal kritik publik menjadi obat dalam memperbaiki organisasi kepolisian. Harapan kepolisian dapat berubah menjadi lebih baik merupakan impinan banyak masyarakat.

“Kepolisian seolah bebal dan kritik publik menjadi sangat relevan yang menyatakan bahwa ada permasalahan serius di tubuh Kepolisian sehingga harus direformasi secara struktural, instrumental dan kultural,” kata Isnur dikonfirmasi, Kamis (16/03/2023).

Baca juga:

Koalisi mencatat, kasus terbaru yang diketahui publik yakni 5 anggota polri dan 2 aparatur sipil negara (ASN) yang bertugas di Polda Jawa Tengah terjaring operasi tangkap tangan bidang profesi dan pengamanan (Propam). Rupanya 5 orang anggota kepolisian dan 2 ASN itu kedapatan melakukan pungutan liar dalam seleksi penerimaan siswa Bintara tahun angkatan 2022. Para pelaku dikenakan sanksi etik mulai dari demosi, penempatan khusus, dan penurunan jabatan serta potongan tunjangan.

Isnur melihat Polri tidak pernah serius menindak anggotanya yang melakukan tindakan koruptif. Pendekatan yang dilakukan hanya memberi sanksi etik yang melanggengkan impunitas dan tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect). Seharusnya sanksi etik dan pidana harus dilakukan secara paralel.

Kepolisian seharusnya mengedepankan penegakan hukum pidana. Sebab, tindakan yang dilakukan oleh para anggota kepolisian secara berjamaah tersebut dapat dikategorikan sebagai pidana korupsi dan/atau pidana dalam jabatan sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Tindakan etik serupa juga terjadi setidaknya dalam 8 kasus lainnya dimana Polri hanya menghukum anggotanya yang melakukan pidana menggunakan etik. Pertama, kasus penerimaan anggota Polri dengan hasil pungli hampir mencapai Rp2 milyar yang melibatkan anggota Polisi di Polres Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2022. Kedua, kasus 7 perwira Polisi dan seorang PNS yang diduga terlibat pungli dalam penerimaan calon Brigadir Polisi tahun 2016 dan Sekolah Inspektur Polisi Sarjana tahun 2017 di Sumatera Selatan.

Ketiga, kasus dugaan suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika, yakni eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta yang hanya mendapatkan sanksi etik tanpa pidana. Keempat, 2 terdakwa dalam kasus penyerangan mantan penyidik KPK Novel Baswedan yang masih menjadi anggota aktif meski terbukti melakukan tindak pidana.

Kelima, kasus Iptu TK yang berkali-kali melakukan kekerasan terhadap masyarakat di Ambon hanya dijatuhi sidang etik berupa pemecatan tidak dengan hormat (2022). Keenam, kasus penyiksaan M. Fikry dkk oleh anggota polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi yang sampai sekarang tidak ditindaklanjuti (2022).

Ketujuh, kasus penyiksaan yang dilakukan 6 aparat Polres Tanah Datar Sumatera Barat  terhadap Viora Andika hanya diberi sanksi berupa permintaan maaf kepada institusi kepolisian dan korban secara lisan (2021). Kedelapan, kasus unlawfull killing 2 mahasiswa Universitas Halu Oleo hanya sampai sidang etik dengan sanksi teguran lisan hingga penundaan kenaikan pangkat (2019).

Untuk mendorong reformasi Polri, koalisi merekomendasikan sedikitnya 4 hal. Pertama, Kapolri memerintahkan seluruh satuan di bawahnya untuk melakukan proses pidana terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana korupsi khususnya dalam kasus Polda Jawa Tengah.

Kedua, Kapolri menindaklanjuti komitmennya untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, transparansi dan berkeadilan (PRESISI) khususnya dengan mengevaluasi penerimaan anggota Polri agar melibatkan peran aktif dan/atau partisipasi pihak eksternal.

Ketiga, pemerintah dan DPR RI perlu menangani permasalah serius di tubuh kepolisian secara aktif dengan melanjutkan agenda reformasi kepolisian secara instrumental, kultural dan struktural melalui perubahan kebijakan/peraturan perundang-undangan. Keempat, Presiden segera membentuk tim independen percepatan reformasi polisi yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, guna memastikan reformasi terjadi di semua aspek Kepolisian RI.

Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR, Achmad Baidowi berpandangan sudah saatnya regulasi yang mengatur kepolisian dilakukan perubahan.  Apalagi UU Polri telah berusia dua dekade. Karenanya, F-PPP mengusulkan agar dilakukannya revisi terbatas terhadap UU 2/2002. Setidaknya dengan merevisi UU 2/2002 bertujuan agar reformasi di tubuh Polri dapat berjalan optimal serta perlu dilakukan penguatan secara kelembagaan.

“Kami mengusulkan revisi terbatas UU Kepolisian agar masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Dia merinci revisi terbatas UU 2/2002 dimaksud yakni terkait dengan norma yang mengatur pengawasan internal Polri yang dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Khususnya soal kewenangan Propam dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, pemberian sanksi etik dan penindakan. Baginya, kewenangan-kewenangan tersebut semestinya terpisah dan tak boleh dilakukan sepihak oleh Divisi Propam. Selain itu penguatan peran pengawasan eksternal.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) itu berpendapat reformasi Polri menjadi keharusan sedini mungkin sejak dilakukan rekrutmen personil Polri. Baginya aturan rekrutmen personil Polri pun perlu dibuat seketat mungkin dalam revisi UU Polri, khususnya soal formula rekrutmen secara transparan dan akuntabel.

Poin lainnya, soal reformulasi ketentuan bagi personil kepolisian yang melakukan tindak pidana agar dilakukan pemberhentian sementara sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sebab, tanpa adanya aturan pemberhentian sementara, proses etik dan hukum berpotensi tak maksimal. Ujungnya malah lagi-lagi mencoreng wajah Polri.

Pria yang juga menjabat anggota Komisi VI DPR itu berpendapat 20 tahun sudah usia UU Polri mengharuskan dilakukan perubahan agar relevan dengan situasi dan perkembangan yang ada. Selain itu, perubahan UU 2/2002 agar dapat pula menyesuaikan dengan dinamika sosial, budaya, dan hukum masyarakat.

Dia mengingatkan revisi terbatas sudah dilakukan terhadap sejumlah UU yang mengatur aparatur penegak hukum. Seperti revisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberikan penguatan kelembagaan pada tugas penuntutan. Begitu pula revisi terhadap UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tags:

Berita Terkait