Advokat Harus Melawan Pemerasan oleh Aparat Penegak Hukum
Kolom

Advokat Harus Melawan Pemerasan oleh Aparat Penegak Hukum

Pemerasan oleh aparat penegak hukum berpotensi mencederai wibawa hukum. Peran advokat sangat vital dalam melindungi pencari keadilan meraih haknya.

Bacaan 4 Menit
Kolase Dicki Nelson (kiri) dan Romy Alfius Karamoy (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Dicki Nelson (kiri) dan Romy Alfius Karamoy (kanan). Foto: Istimewa

Penegakan hukum adalah salah satu unsur penting untuk menilai kemajuan suatu negara. Wajar jika penegak hukum serta badan hukum selaku penegak hukum sering mendapat perhatian masyarakat. Perhatian ini bahkan akan meningkat tajam saat penegak hukum yang justru melakukan tindak pidana, misalnya pemerasan.

Siapa saja bisa menjadi korban baik masyarakat maupun badan hukum pencari keadilan. Profesi advokat pun berpotensi mengalami tindak pidana pemerasan yang dilakukan aparat penegak hukum. Padahal, advokat berperan memberi jasa hukum demi kepentingan penegakan hukum.

Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat jelas menyatakan bahwa, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan Tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Baca juga:

Tindak pidana pemerasan oleh aparat penegak hukum berpotensi mencederai wibawa hukum. Kejahatan oleh aparat penegak hukum semacam ini juga memperburuk penilaian dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Di sisi lain, advokat juga bisa hadir untuk kliennya atau masyarakat dalam menghadapi dugaan tidak pidana pemerasan oleh aparat penegak hukum.

Tindak pidana pemerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku diatur dalam dua bagian. Pertama dalam Pasal 52 Buku I tentang Ketentuan Umum, “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.

Selanjutnya diatur juga dalam Pasal 368 ayat (1) Buku II tentang Kejahatan, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapus piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.

Pemerasan juga diatur dalam Pasal 482 ayat (1) UU No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru), “Dipidana karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk: a. Memberikan suatu barang, yang Sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau b. Memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang”.

Pemerasan juga diatur dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tertera bahwa, “Dipidana dengan pidana penjara sumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.

Segala ketentuan peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa perbuatan aparat penegak hukum—termasuk penyelenggara negara—melakukan pemerasan sudah ada ancaman sanksinya. Selanjutnya adalah peran advokat yang sangat dibutuhkan melindungi kepentingan pencari keadilan yang mengalami dugaan tindak pidana pemerasan oleh aparat penegak hukum. Peran ini adalah tantangan bagi setiap advokat. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan integritas dan kemampuan yang optimal agar advokasi yang diperjuangkan sesuai dengan bukti-bukti yang ada.

Berbagai dugaan pemerasan oleh aparat penegak hukum menjadi kritik sangat serius bagi pemerintah dan lembaga negara. Cita-cita reformasi hukum dipertaruhkan dalam setiap perkembangan penegakan hukum. Perkembangan teknologi digital bahkan telah menjadi instrumen yang ikut mengontrol setiap tindakan aparat penegak hukum. Kita bisa melihat sendiri berbagai macam permasalahan hukum yang disorot masyarakat lewat media sosial sehingga menjadi viral. Ujung-ujungnya para pihak yang diduga terlibat harus terseret proses hukum. Tentu saja ini memperburuk citra penegak hukum dan lembaga negara di mata masyarakat.

Akhirnya, peran advokat sangat vital dalam melindungi kepentingan klien dari pemerasan oleh aparat penegak hukum. Dalam sisi bisnis dan hukum, advokat diharapkan mampu mengawal setiap tindakan bisnis klien agar terbebas dari pemerasan oleh aparat penegak hukum. Advokat dapat memastikan bahwa setiap dokumen dan upaya klien telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kesesuaian berkas dan prosedur administrasi itu akan menutup peluang aparat penegak hukum untuk melakukan pemerasan.

*)Dicki Nelson S.H., M.H. dan Romy Alfius Karamoy, S.H., keduanya advokat di Jakarta.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait