Beda Pendapat Tiga Hakim Warnai Pengabulan Seluruh Permohonan Setya Novanto
Uji Materi UU Tipikor dan KUHP

Beda Pendapat Tiga Hakim Warnai Pengabulan Seluruh Permohonan Setya Novanto

Kubu Setya Novanto menilai perkara di Kejaksaan Agung harus dihentikan.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Pemohon juga menghadirkan Ahli Prof. H.A.S.Natabaya yang menyatakan bahwa dalam tindak pidana pemufakatan jahat, para pihak harus bersepakat melakukan tindak pidana, harus mewujudkan rencana tersebut sebagian atau seluruhnya, telah menimbulkan kerugian Negara dengan unsur untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi. Tetapi dalam kasus ini, kehendak atau niat tanpa disertai dengan perbuatan itu tidak dapat dipidanakan. (Baca juga: Setya Novanto Minta MK Tafsirkan “Permufakatan Jahat”)
Mahkamah berpendapat, jika definisi “pemufakatan jahat” tidak diubah, maka akan digunakan untuk menjerat siapapun yang berbincang untuk melakukan delik kualitatif meskipun orang tersebut tidak mempunyai kapasitas tertentu seperti yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut Mahkamah, dalam perumusan delik pidana, syarat-syaratnya harus terpenuhi, yakni lex previa (tidak berlaku surut), lex certa (harus jelas), lex stricta (harus tegas), dan lex scripta (harus tertulis). 
Mahkamah berpendapat, ketidakjelasan makna “pemufakatan jahat” dalam norma a quo telah merugikan warga Negara karena memperluas kewenangan penafsiran atas niat jahat. Menurut Mahkamah, tidak semua subjek hukum memiliki kualitas untuk berbuat jahat atas dasar kualitas kewenangan yang dimilikinya. Kualitas tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, yang dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu.
Mahkamah juga memutuskan bahwa frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.”
Terhadap putusan ini, terdapat 3 Hakim MK yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinions), yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Manahan M.P Sitompul. Pijakan pendapat ketiga hakim ini berbeda-beda, I Dewa Gede Palguna menyatakan bahwa permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk) karena kedudukan Setya Novanto sebagai anggota DPR. 
Suhartoyo menyatakan permohonan seharusnya permohonan ditolak karena Pasal 15 UU Tipikor merupakan sebuah bentuk perluasan dapat dipidananya perbuatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari usaha pemberantasan korupsi yang seharusnya dilakukan dengan upaya-upaya yang luar biasa (extraordinary).
Sementara Manahan M.P. Sitompul justru berpendapat sebaliknya, yakni frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, Mahkamah Konstitusi seharusnya mencabut Pasal 15 UU Tipikor untuk seluruhnya, bukan hanya memberikan penafsiran frasa “pemufakatan jahat”.
Tags:

Berita Terkait