Chain of Custody berbasis Blockchain dalam Penanganan Bukti Digital
Kolom

Chain of Custody berbasis Blockchain dalam Penanganan Bukti Digital

Kecanggihan fitur yang dimiliki Blockchain, dinilai potensial untuk dimanfaatkan dalam penanganan bukti digital.

Bacaan 5 Menit
Chain of Custody berbasis Blockchain dalam Penanganan Bukti Digital
Hukumonline

Akselerasi perkembangan teknologi terus mengalami peningkatan, yang ditandai dengan hadirnya berbagai teknologi baru seperti Artificial Intelligence, Virtual Reality, Robotics, dan Internet of Things. Fenonema tersebut dimaknai sebagai masuknya era baru dari revolusi industri (4.0), yang mana telah mengubah kehidupan menjadi serba digital.

Hal ini ternyata berdampak pada penegakan hukum, karena digitalisasi kehidupan telah melahirkan suatu bukti baru yang berbentuk digital seperti foto, video, rekaman serta dokumen/informasi digital lainnya. Bukti digital memiliki sifat yang rapuh (vulnerable) dan dapat dimodifikasi (volatile). Sehingga diperlukan treatment khusus terhadapnya agar bisa digunakan secara sah dalam persidangan.

Di antaranya penggunaan bukti digital dalam perkara pidana. KUHAP saat ini belum mengatur secara khusus tentang prosedur penanganannya. Padahal berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, bukti digital sudah diakui dan dapat digunakan di persidangan dengan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE, bahwa “dokumen/informasi elektronik dianggap sah apabila dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan”. Karena itu aturan mengenai prosedur penanganan bukti digital sangatlah penting guna memenuhi syarat tersebut.

Baca juga:

Di beberapa negara, telah ada instrumen seperti ACPO/NPCC Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence, NIST 800–86 Guide to Integrating Forensic Techniques into Incident Response, NCJ 199408 dan ISO 27037:2012-Guidelines for Identification, Collection, Acquisition and Preservation of Digital Evidence, yang memberikan prinsip dasar penanganan bukti digital yaitu Personil yang Kompeten, Chain of Custody (CoC) dan Kepatuhan Hukum yang menjadi syarat demi terpenuhinya prinsip Integritas dari bukti digital.

Salah satu prinsip yang penting tersebut adalah CoC, yang didefinisikan sebagai dokumen yang dapat mengidentifikasi perpindahan dan penangangan bukti secara kronologis. Artinya segala tindakan yang dilakukan atas bukti digital harus terdokumentasi lengkap, sehingga dapat dipastikan bahwa bukti digital tidak mengalami perubahan sejak pertama kali diakuisisi hingga dipresentasi di persidangan. Karena itu diperlukan suatu instrumen agar CoC tersedia dengan baik dan benar. Saat ini terdapat teknologi yang dinilai mampu mendukungnya yaitu Blockchain.

Blockchain

Blockchain merupakan suatu teknologi yang mengadopsi fungsi buku catatan besar (ledger). Teknologi ini berfungsi merekam/menyimpan data/informasi pada sebuah tempat (blok) di dalam suatu jaringan. Setiap blok di dalam jaringan akan melakukan pencatatan dan penyimpanan atas data/informasi dengan prinsip desentralisasi dan kriptografi. Desentralisasi membuat segala data/informasi yang tercatat/tersimpan di dalam blok terdistribusi kepada seluruh blok-blok lain yang terhubung secara peer-to-peer dan real time dengan time stamped.

Sedangkan kriptografi adalah teknik yang digunakan untuk melakukan enkripsi data/informasi yang tercatat/tersimpan di dalam blok dengan cara mengubahnya dengan kode unik yang tersusun dari angka/huruf secara acak yang disebut hash, melalui hash tersebut blok-blok di dalam jaringan dapat saling terhubung (Georgios Dimitropulos,The Law of Blockchain,2020,Page 1127&1128).

Apabila ada pihak lain (stranger/hacker) yang mencoba mengubah isi data pada salah satu blok, maka blok-blok lain yang terhubung akan mendeteksi dan memvalidasinya melalui pencocokan hash dengan konsep konsensus, hasilnya data yang akan digunakan (valid) adalah data mayoritas dari seluruh blok yang terhubung.

Melalui fitur tersebut, sebagaimana dilansir dari Hukumonline, Blockchain menjadi suatu platform yang memungkinkan setiap pencatatan/penyimpanan/perubahan data dapat terlihat oleh pihak lain yang terhubung dalam Blockchain. Di sisi lain, dilengkapi kriptografi membuat keamanan data Blockchain semakin kuat, sehingga membuat data tidak mudah dimanipulasi. Karena mekanisme pencatatan/penyimpanan data dalam Blockchain bersifat transparent dan immutable.

Blockchain-Based CoC

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, di Indonesia belum terdapat pengaturan lebih lanjut tentang prosedur penanganan bukti digital. Terlebih masih menjadi perdebatan tentang kedudukan bukti digital yang dapat berdiri sendiri ataukah perlu dukungan bukti lain.

Namun jika melihat karakteristiknya, bukti digital diklasifikasikan sebagai bukti bisu (stille getuigen) sehingga memerlukan bukti lain (saksi, ahli, terdakwa ataupun surat) untuk menjelaskannya. Dengan demikian bukti digital lebih dipandang sebagai barang bukti (Kemitraan & LeIP,Naskah Akademik Kerangka Hukum Perolehan,Pemeriksaan & Pengelolaan Bukti Elektronik,2019,Halaman 20-21,43–48).

Oleh karena itu secara umum penanganan bukti digital merujuk pada KUHAP, yaitu Pasal 32–46 (penggeledahan, penyitaan) dan Pasal 75 ayat (1) (berita acara). Sedangkan secara khusus, patut mengadopsi pedoman di beberapa negara di atas sebagai best practices, sehingga dapat memenuhi ketentuan Pasal 6 UU ITE. Salah satu elemen penting yang harus diperhatikan adalah Chain of Custody. CoC yang tersedia dengan baik harus memenuhi prinsip (Silvia Bonomi et al.,B-CoC for Evidences Management in Digital Forensics,2018,Page 1&2):

  • Integrity (bukti utuh, tidak rusak/diubah);
  • Traceability (seluruh proses penanganan bukti digital tercatat lengkap);
  • Authentication & Verifiability (setiap pihak yang berkontak dengan bukti digital adalah yang berkepentingan dan terverifikasi);
  • Security (penanganan bukti digital tidak mengakibatkan rusak/berubah);


Sekarang CoC yang tersedia dalam praktik berbentuk dokumen tertulis, termasuk penyimpanan bukti digital sebelum dan saat persidangan. Praktiknya tidak dilakukan dengan sistem berbasis komputer, tetapi masih dilakukan secara manual yang difokuskan pada perangkat yang mengandung bukti digital (hard disk/flash disk) (Kemitraan & LeIP,Naskah Akademik Kerangka Hukum Perolehan,Pemeriksaan & Pengelolaan Bukti Elektronik,2019,Halaman 66–69).

Kecanggihan fitur yang dimiliki Blockchain, dinilai potensial untuk dimanfaatkan dalam penanganan bukti digital. Blockchain dipandang mampu menjadi perangkat yang menyediakan CoC dengan baik (Po Yu Jung et al.,B-CoC Model in Digital Forensic Investigation,2020,Page 1731). Dalam hal ini adalah Private Blockchain, yaitu jaringan Blockchain yang dikontrol oleh satu/beberapa entitas dengan protokol dan akses yang terbatas kepada pihak yang berkepentingan (stake holder) (Georgios Dimitropulos, The Law of Blockchain, 2020, Page 1130), yaitu polisi, ahli, jaksa, pengacara dan hakim serta petugas RUPBASAN selaku pengelola barang sitaan.

Nantinya para stakeholder bisa mengakses bukti digital dalam Blockchain yang dikelola satu lembaga (misalnya Kepolisian/Kejaksaan/RUPBASAN), termasuk melihat catatan pihak yang mengakses dan menggunakannya disertai catatan waktu yang lengkap. Sehingga keutuhan bukti digital yang tersimpan dalam Blockchain sangat dijamin.

Namun, di Indonesia Blockchain belum banyak digunakan, karena itu pemanfaatannya dalam penanganan bukti digital tentu dihadapkan pada beberapa tantangan, sehingga memerlukan:

  • Pembaruan KUHAP untuk penanganan bukti digital dan peraturan penggunaan Blockchain;
  • Dorongan pengembangan SDM yang terlibat (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan RUPBASAN);
  • Pemerataan sarana dan prasarana yang mendukung pada lembaga terkait untuk penggunaan Blockchain;
  • Mengingat cara kerja Blockchain yang sangat sejalan dengan prinsip CoC yang baik, maka pemanfaatannya diharapkan mampu mewujudkan pelaksanaan proses penanganan dan penyajian bukti digital berjalan dengan baik dan benar.

Oleh karena itu, hal-hal yang menjadi tantangan tersebut perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti ke depannya. Termasuk juga kajian dan pengembangan Blockchain lebih lanjut demi pemanfaatan pada bidang hukum lainnya seperti pendaftaran tanah dan paten/merek.

*)Kurnia Ramadhan, Mahkamah Agung RI (Juara 1 Lomba Blog 23 Tahun Anniversary Hukumonline, Kategori Profesional).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait