Irfan Setiaputra, 'Kapten' di Balik Suksesnya Restrukturisasi Garuda Indonesia
CEO of the Month

Irfan Setiaputra, 'Kapten' di Balik Suksesnya Restrukturisasi Garuda Indonesia

Setelah melalui proses restrukturisasi utang Garuda yang disebut-sebut sebagai terbesar dalam sejarah korporasi di Indonesia, kini pendapatan perlahan mulai kembali naik seiring berakhirnya masa Pandemi Covid-19 dan normalnya bisnis perjalanan penerbangan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 6 Menit
Irfan Setiaputra, 'Kapten' di Balik Suksesnya Restrukturisasi Garuda Indonesia
Hukumonline

Nama Irfan Setiaputra, sering terdengar menghiasi media massa terutama ketika PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) sempat di ambang kebangkrutan pada tahun 2020-2021 lalu. Direktur Utama Garuda Indonesia itu menjadi nahkoda yang sukses membawa perusahaan melewati masa-masa krisis/sulit supaya lolos dari jerat pailit dan justru kini kembali melambung naik dari segi pendapatan.

Tentu jalan yang ditempuh Irfan bersama dengan jajaran Direksi Garuda Indonesia yang lain tidaklah mudah, tekanan yang kuat dari berbagai sisi terus dirasakan. Tak pernah terbayangkan olehnya, maupun perusahaan maskapai penerbangan lain, kondisi seperti pandemi Covid-19 akan menerpa seluruh dunia. Menutup akses penerbangan baik di dalam maupun luar negeri, alhasil industri penerbangan sempat mengalami kelumpuhan.

“Ketika tidak ada yang terbang berarti tidak ada pendapatan, sementara pengeluaran atau expense jalan terus. Apalagi mayoritas pengeluaran kita itu fixed. Maksudnya gaji, sewa, dan segala macam. Jadi kelihatan sekali bahwa pendapatan menurun, pengeluaran tidak bisa turun mengikuti pendapatan. Mulai terjadi crossing,” kenang Irfan ketika dijumpai Tim Hukumonline di kantornya, Rabu (27/3/2024).

Baca Juga:

Menyadari kondisi yang tidak menentu kapan pandemi Covid-19 dapat berakhir, Irfan mengaku sempat pasrah dan menyarankan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) RI Erick Thohir untuk mempailitkan Garuda Indonesia. Akan tetapi, kala itu banyak petinggi negara yang tidak menyetujui saran tersebut. Mau tak mau, pihak perusahaan mencoba untuk memasang “mode bertahan” meski angka utang Garuda terus bertambah.

Pihaknya berupaya terus negosiasi dengan ratusan lebih kreditur. Lagi-lagi upaya ini sulitnya bukan main. Akhirnya tahun 2021, PT Garuda Indonesia digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemberitaannya masif menjadi headline berbagai media, bagaimana tidak? Sebuah perusahaan BUMN yang sebesar dan membanggakan seperti Garuda Indonesia digugat ke meja hijau! Membuatnya menjadi sebuah topik panas yang terus dibincangkan berbagai kalangan pada saat itu. 

Berada dalam kondisi terdesak, pihak Garuda Indonesia memutuskan untuk mengikuti proses PKPU di pengadilan. “Ketika kita jalan (proses PKPU), akhirnya satu-satunya cara buat kita waktu itu mengajukan usulan perdamaian atau proposal kepada semua kreditur yang menurut kita bisa diterima oleh mereka. Itu agak menantang karena utangnya terlalu besar,” kata dia.

Beratnya beban yang dipikul membuat maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia itu harus membentuk tim khusus yang mempelajari “dos and don’ts” dari PKPU. Meski fokus utama mereka tetap merancang proposal perdamaian yang kiranya dapat diterima para pihak. Lebih lanjut, pendekatan yang dilakukan Irfan bersama jajaran Direksi Garuda Indonesia adalah menyerahkan secara langsung proposal-proposal tersebut tanpa perantara pengacara atau pihak lain.

“Saya bagi tugas dengan direksi (bernegosiasi dengan kreditur). Tapi akhirnya mereka (para kreditur) setuju juga. Tidak punya pilihan. Karena kalau Anda tidak setuju terus kita kemudian bangkrut, Anda malah cuma dapat 3%. Dari 20% jadi 3%. Karena aset kita sedikit, pesawat itu semua sewa,” ujarnya. 

Berdasarkan perjalanan panjang yang dilalui bersama tim di Garuda Indonesia dan para konsultan, Irfan memandang kunci dari keberhasilan lolosnya PKPU tak terlepas dari negosiasi yang baik dan proposal yang masuk akal. Namun ternyata, di samping kedua hal itu, salah satu faktor yang jadi pertimbangan sejumlah kreditur adalah keikutsertaan Irfan yang merupakan Direktur Utama dalam bernegosiasi dengan para kreditur.

Jadi bukan hanya sebab kondisi yang dialami Garuda Indonesia adalah sama dengan semua maskapai penerbangan lain di seluruh dunia, melainkan sincerity atau ketulusan dari pucuk pimpinan perusahaan yang tanpa perantara untuk terjun menghadapi kreditur menjadi catatan tersendiri. Dirinya mengaku tidak terlalu mengambil pusing, sederhananya apa yang dilakukan adalah hal yang seharusnya dilakukan. Tapi ternyata tak banyak Dirut yang berpikiran serupa.

“Kalau Anda seorang pemimpin dalam kondisi glory (perusahaan Berjaya) Anda mesti di depan. Tapi dalam kondisi susah, Anda juga harus di depan. Jangan cuma mau take the glory (mengambil kejayaan), kalau lagi susah orang lain yang disuruh. Pikiran saya begitu waktu itu. Tidak mungkin bisa menghindar. Ternyata itu menimbulkan apresiasi dari para kreditur. Mereka pun apresiasi sudah minta maaf.”

Hukumonline.com

Setelah melalui kompleksitas dari proses restrukturisasi utang Garuda yang digadang sebagai yang “terbesar dalam sejarah korporasi di Indonesia”, sekarang pendapatan maskapai penerbangan yang telah berdiri sejak 26 Januari 1949 itu perlahan mulai kembali naik seiring berakhirnya masa pandemi Covid-19 dan normalnya bisnis perjalanan penerbangan.

Seperti dilansir CNBC Indonesia, pertumbuhan pendapatan usaha konsolidasi tercatat mencapai 40% di tahun kinerja 2023 atau sekitar US$2,94 miliar jika dibandingkan dengan pendapatan usaha di tahun sebelumnya sebesar US$2,1 miliar. Pendapatan tersebut dikatakan memperoleh dorongan dari pendapatan penerbangan berjadwal yang naik 41% y-o-y ke angka US$2,37 miliar. 

Sedangkan penerbangan berjadwal penumpang sendiri tumbuh menjadi US2,21 miliar atau meningkat 52%. Penerbangan tak berjadwal mengalami kenaikan sampai 65% dan mencapai angka US$288,03 juta. Pun untuk pendapatan dari penerbangan haji di tahun 2023 telah melonjak signifikan 145% menjadi US$235,17 juta dibanding tahun sebelumnya. Pendapatan lain-lain ikut naik mencapai angka US$270,58 juta atau sebesar 15%. Setelah masa-masa suramnya, Garuda Indonesia sukses membukukan laba tahun berjalan menyentuh angka US$251.996.580.

Kunci sukses lainnya dari pengalaman Garuda Indonesia adalah pihaknya terus berupaya mencari solusi semaksimal mungkin.

“(Kuncinya) tentu saja negosiasi. Setelah lewati ini bersama para direksi, saya tanya ‘kok kita bisa lewati ya’? Ternyata kesimpulan kita bisa menyelesaikan restrukturisasi Garuda (karena) mereka melihat orang Garuda ini ketika proses selalu datang dengan solusi. Persoalannya, orang yang datang dengan solusi ini dalam kondisi biasa gampang, tapi bisa datang dalam kondisi tertekan kan tidak gampang. Ada syarat orang bisa selalu cari solusi, cuma satu yaitu berpikir positif,” terang Irfan.

Hukumonline.com

“Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang kita mesti jalankan setelah restrukturisasi, salah satunya mengeksekusi janji. Jadi di proposal setelah kita potong-potong itu kita berjanji untuk bisa menjadi sebuah perusahaan yang menguntungkan. Bukan untung zaman Irfan, tapi untung forever, sustain (berkelanjutan). Satu hal yang paling penting, kita dan teman-teman Direksi jalani itu membangun fundament (dasar) untuk siapapun yang meneruskan kita,” ucap alumni Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Industri dengan margin tipis

Baginya, pijakan tersebut amat penting mengingat implikasi dari kebijakan atau tindakan yang “nyeleneh” dapat berdampak signifikan terhadap perusahaan. “Tidak banyak orang yang tahu kalau industri ini adalah industri yang marginnya tipis sekali. Artinya kalau ada salah melakukan kebijakan atau policy, ini ceritanya bisa panjang. Dan ini bukan cuma Garuda, tapi semua pemain di industri ini. Penting bagi kita membangun sistem fundament baik itu dari sistem, proses, orang, training, dan segala macam,” urai Irfan.

Kehati-hatian menjadi keharusan tatkala margin single digit yang diperoleh maskapai penerbangan. Hanya dengan kesalahan sekecil apapun itu bisa berimplikasi semisal dari margin hanya 5-6% menjadi -3 bahkan sampai -4%. Maka dari itulah wajib hukumnya bagi pemangku posisi di Garuda Indonesia betul-betul memperhatikan segala kebijakan dan tindakan yang diambil. Belum lagi Garuda sendiri masih mempunyai utang yang harus dibayar nantinya, dari pil pahit proses PKPU, Irfan menegaskan pihaknya tidak mau lagi Garuda Indonesia di-PKPU-kan.

Pria kelahiran Jakarta pada 24 Oktober 1964 itu mengaku industri penerbangan menjadi salah satu yang paling menantang. Problematika yang dihadapi dan begitu terasa dapat dijumpai dari segi tatanan regulasi yang dinilai overregulated. Bukan hanya peraturan mengenai penerbangan, maintenance, sampai dengan perlindungan konsumen yang semua itu menurutnya memang harus dihadirkan. Tetapi dirinya kurang setuju ialah pada lingkup komersial sekalipun tetap diatur.

“Sudah ini industri yang marginnya single digit, aktualisasi yang ribetnya minta ampun, harga ditentukan lagi. Dikenal sebagai TBA, Tarif Batas Atas. Untuk kelas ekonomi dalam negeri itu dibatasi, tidak boleh lebih dari sekian. Juga ditentukan tarif batas bawahnya. Memang niatnya untuk memastikan tingkat persaingan sehat segala macam, tapi lupa kalau akibat dari itu, sejak diberlakukan (TBA) sudah 10 maskapai di Indonesia bangkrut.”

Mengenai TBA memang menjadi diskusi panjang yang dilakukan bersama dengan Asosiasi dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI. Dirinya merupakan salah satu sosok yang vokal menyuarakan isu tersebut. Seperti diketahui, sebelum Irfan menjabat sebagai Dirut Garuda Indonesia pada tahun 2020, dirinya sudah berkiprah di 9 perusahaan lainnya. 

Bahkan individu yang menorehkan banyak prestasi dan penghargaan usai berhasil menyelamatkan Garuda Indonesia dari masa kritis itu diketahui sempat diamanahkan menjadi CEO pada 5 perusahaan berbeda. Antara lain pada PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero)/INTI (2009-2012), PT Titan Mining Indonesia (2012-2014), PT Cipta Investama (2015-2016), Reswara Minergi Hartama (2017), serta Sigfox Indonesia (2019-2020).

“Anda jadi CEO, Anda mesti tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Karena ini perusahaan ada yang punya dan Anda yang menjalankan. Tentu saja kita mesti menjawab keinginan pemilik. Kita boleh bertanya kenapa, tapi tidak boleh kita berdebat. Kalau kita tidak suka, ya keluar saja. Jangan kemudian menyalahi tata krama berorganisasi. Tentu saja harus berintegritas juga,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait