Konflik Kepentingan, Anwar Usman Diminta Mundur
Utama

Konflik Kepentingan, Anwar Usman Diminta Mundur

Sebagai ketua MK dan hakim konstitusi. Sebab, Pasal 17 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga. Selain itu, dinilai melanggar Prinsip Ketidakberpihakan, Penerapan dalam angka 5 huruf b Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Ketua MK Anwar Usman. Foto: RES
Ketua MK Anwar Usman. Foto: RES

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman resmi telah menikah dengan adik kandung Presiden Joko Widodo, Idayati pada Kamis 26 Mei 2022. Artinya, saat ini antara Ketua MK Anwar Usman dan Presiden Joko Widodo terjalin hubungan semenda berupa adik-kakak ipar. Hubungan semenda ini tentu bermasalah baik dari segi etika dan perilaku hakim konstitusi. Mengingat presiden cq pemerintah (pembentuk UU) kerap menjadi salah pihak dalam sengketa di MK, terutama dalam pengujian undang-undang (UU) dan sengketa hasil pemilihan umum.    

Untuk diketahui, sejak MK berdiri pada tahun 2003 sampai saat ini, tercatat ada 1.514 perkara pengujian UU. Artinya, rata-rata per tahun adalah 79 perkara. Untuk tahun 2022, tercatat ada 35 putusan, 50 perkara yang masih diproses, dan 30 perkara yang sedang diajukan permohonan pengujian.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengingatkan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam pengujian perkara UU, posisi Presiden sebagai pihak bersama DPR sebagai pembentuk UU. UU merupakan produk politik Presiden dan DPR. Selain itu, Presiden pemegang kekuasaan eksekutif yang melaksanakan UU.

“Dalam setiap pengujian UU, keterangan Presiden selalu mempertahankan atau menolak pembatalan UU. Artinya, dari segi kepentingan dapat dianggap berlawanan dengan kepentingan pemohon warga negara yang mengalami kerugian konstitusional atas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945,” kata Julius Ibrani kepada Hukumonline.

Baca Juga:

Ia menjelaskan ketika nanti MK memutus perselisihan hasil pemilihan umum, tidak dapat dipungkiri posisi Presiden dapat disorot. Mengingat putra kandungnya Gibran Rakabuming merupakan walikota Solo dan menantunya Bobby Nasution adalah walikota Medan, yang keduanya potensi menjadi peserta pemilihan umum tahun 2024.

“Berpotensi mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun 2024. Sehingga, apabila ada perselisihan terhadap hasil pemilihan umum yang dimenangkan Gibran dan/atau Bobby, potensi digugat ke MK,” kata dia.

Menurutnya, dalam konteks ini prinsip imparsialitas hakim konstitusi menjadi sangat penting untuk menghindari benturan atau konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penanganan perkara di MK. Dia mengutip bunyi Pasal 17 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga….”  

“Artinya, Anwar Usman sebagai hakim MK harus mundur dari seluruh pemeriksaan perkara pengujian UU yang jumlahnya rata-rata 79 perkara setiap tahunnya, termasuk perselisihan umum nanti pada tahun 2024 jika memang terjadi,” bebernya.

Julius juga mengingatkan berdasarkan Peraturan MK No.09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, terkait prinsip independensi, dalam angka 3 penerapannya menegaskan hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.

Adapun prinsip ketidakberpihakan pada angka 3 penerapannya menyebutkan hakim konstitusi harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim konstitusi tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara. Dalam prinsip kepantasan dan kesopanan dalam kode etik hakim MK, angka 2 penerapannya menyebutkan hakim konstitusi harus menerima batasan-batasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati.

Dia pun mengingatkan hakim MK menyandang sebagai negarawan dalam Pasal 33 huruf (c) UU No.48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 15 huruf (c) UU Mahkamah Konstitusi. Bagaimana bisa disebut sebagai negarawan jika melanggar ketentuan hukum, etika profesi dan perilaku hakim MK, serta berpotensi terjadi konflik kepentingan kekuasaan politik?

“Padahal jelas sebagai penjaga konstitusi (guardian of constitution) sekaligus seorang negarawan, seharusnya ia mengedepankan kepentingan negara dan hak kewenangan konstitusionalitas warga negara. Untuk itu, Anwar Usman harus mundur dari jabatan Hakim MK dan Ketua MK,” tegasnya.

Sebelumnya, Advokat Konstitusi, yang juga Kuasa Hukum Pemohon UU IKN, Viktor Santoso Tandiasa menilai pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik ketiga Presiden Jokowi, potensi terjadi pelanggaran Peraturan MK No.09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang sangat kuat.

Pelanggaran prinsip kode etik hakim konstitusi yang dimaksud Viktor yakni Prinsip Independensi, Penerapan dalam angka 6 yang menyebutkan "hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah."

Selain itu, Prinsip Ketidakberpihakan, Penerapan dalam angka 5 huruf b, menyebutkan “hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: a. ... b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.”

Ia menjelaskan kewenangan MK terdapat adanya persinggungan dengan para pihak yang berperkara dalam hal ini Presiden (pemerintah). Kewenangan tersebut, pertama kewenangan pengujian Undang-undang (bersifat kasuistik) yakni terhadap UU inisiatif presiden, seperti UU Ibu Kota Negara Nusantara. Kedua kewenangan impeachment terhadap presiden.

Terhadap kedua kewenangan tersebut, kata dia, tentunya ketua MK akan sulit menjaga dan menunjukkan citra independen untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah sebagaimana yang diharuskan dalam Prinsip Independensi pada angka 6 sebagaimana disebutkan diatas.

“Dalam penanganan Pengujian UU yang merupakan inisiatif presiden, akan sulit menjaga agar tidak menimbulkan anggapan bahwa ketua MK dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak di mata publik,” kata Viktor.  

“Saat ini MK sedang menangani perkara pengujian UU Ibu Kota Negara Nusantara yang kita semua tahu, perpindahan ibu kota nusantara merupakan ambisi politik Presiden RI di akhir masa jabatannya,” bebernya.

Patut diingat pula, kata dia, suara ketua MK dalam pengambilan keputusan di setiap Rapat Permusyawaratan Hakim dapat bernilai 2 suara, apabila jumlah hakim saat akan mengambil keputusan berjumlah imbang (genap). Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan prasangka negatif apabila dalam penanganan suatu perkara pengujian UU yang merupakan inisiatif Presiden atau perkara impeachment.

“Saat akan mengambil putusan dalam RPH jumlah hakim genap dan terjadi (1 hakim konstitusi, red) dissenting opinion, ketika putusan ditolak dengan komposisi hakim 4 menolak dan 4 mengatakan seharusnya mengabulkan permohonan, maka ketika posisi ketua MK ada di pihak yang menolak, maka suara ketua MK menjadi bernilai 2 suara,” katanya.   

Juru Bicara MK sekaligus Hakim Konstitusi Prof Enny Nurbaningsih belum bisa berkomentar banyak terkait persoalan ini. “Kita masih koordinasikan dulu dengan hakim konstitusi lain. Karena ini tidak bisa saya jawab sebagai juru bicara, sabar ya..,” katanya singkat.    

Tags:

Berita Terkait