Mendambakan Hukum yang Responsif dalam Pengaturan Ketamine
Kolom

Mendambakan Hukum yang Responsif dalam Pengaturan Ketamine

Urgensi dan penetapan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I ini tidak menimbulkan permasalahan sepanjang ada pengaturan yang membatasi penggunaan ketamine hanya dalam bidang medis, khususnya dalam prosedur anestesi.

Bacaan 8 Menit

United States Drug Enforcement Administration (DEA) menyatakan bahwa ketamine merupakan obat, zat, atau bahan kimia Golongan III. Ketamine digolongkan sebagai obat dengan potensi ketergantungan fisik dan psikologis sedang hingga rendah, perubahan persepsi terhadap warna dan/atau suara, halusinasi, delirium, kebingungan, kesulitan belajar dan berpikir, mati rasa, gerakan-gerakan otot tak terkendali, kejang-kejang, gangguan bicara, meningkatnya tekanan di otak dan mata yang menyebabkan pembengkakan otak, lesu pada syaraf otak, tumor dan glaukoma, mudah lupa dan kesulitan mengendalikan gerakan mata.

Peredaran dan penyalahgunaan ketamine di Indonesia, menjadi perhatian dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Dimana, ketamine sudah lama diusulkan oleh BNN kepada Kementerian Kesehatan untuk ditetapkan dalam Daftar Narkotika Golongan I, karena penggunaannya yang tidak secara normal dan penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Pusat Penelitian, Data dan Informasi BNN merilis barang bukti sitaan dari peredaraan ketamine ini mencapai 50,000,00 Millilitres dari 6,894 penanganan kasus Narkotika.

Ketamine merupakan jenis psikotropika berbahaya dan harganya lebih mahal dari sabu-sabu. Di beberapa negara, ketamine dijadikan sebagai psikotropika golongan satu dengan harga yang cukup mahal mencapai Rp2 juta per gram. Namun, hingga saat ini, sediaan ketamine di Indonesia belum digolongkan sebagai narkotika, tetapi merupakan sediaan farmasi. Padahal, ketamine dapat disalahgunakan sebagai bahan baku narkotika atau psikotropika. Efek yang diakibatkan dari penyalahgunaan ketamine sama berbahayanya dengan psikotropika lainnya seperti sabu dan heroin.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU Narkotika, Kemenkes mempunyai kewenangan untuk melakukan perubahan penggolongan narkotika dan mengaturnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Namun, ada kekhawatiran, ketika nantinya ketamine masuk dalam Daftar Narkotika Golongan I maka implikasinya adalah ketamine tidak akan dapat dipergunakan lagi dalam tindakan medis, khususnya dalam injeksi anestesi. Padahal, di lain pihak, pengaturan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I adalah sesuatu hal yang urgent untuk mengatasi penyalahgunaan ketamine. Dimana, jika ketamine masuk dalam Daftar Narkotika Golongan I, akan berpengaruh terhadap pemberian sanksi terhadap pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan ketamine. Dalam proses penegakan hukum juga dapat melibatkan BNN.

Seharusnya, urgensi dan penetapan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I ini tidak menimbulkan permasalahan sepanjang ada pengaturan yang membatasi penggunaan ketamine hanya dalam bidang medis, khususnya dalam prosedur anestesi. Pengaturan tersebut harus menjamin ketersediaan ketamine dalam bidang medis dan restriksi hanya pada dokter spesialis anestesi yang memiliki kewenangan dalam penggunaannya.

Semoga, hukum dapat merespon aspirasi publik dan perubahan sosial terkait dengan pengaturan ketamine ini sehingga dapat mewujudkan kepastian dan kemanfaatan hukum.

*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait