Sejak pembahasan hingga pengambilan keputusan persetujuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU terus menuai sorotan publik. Beragam kritik terhadap sejumlah isu krusial termasuk soal delik perzinahan belakangan menuai sorotan dunia internasional, bahkan disebut-sebut menghambat iklim investasi. Pengaturan delik perzinahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memang mengalami reformulasi dibandingkan KUHP peninggalan kolonial Belanda.
Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Suhariyanto mengatakan KUHP peninggalan kolonial mengatur delik perzinahan dengan membatasi salah satu pihak terikat perkawinan. Misalnya, suami atau istri melakukan perzinahan dengan orang lain yang bukan pasangannya yang sah.
Sementara delik perzinahan diatur dalam Pasal 411 KUHP baru mengalami redefinsi tentang perzinahan. Dalam KUHP baru delik perzinahan merupakan delik aduan absolut yakni suami atau istri yang terikat dalam ikatan perkawinan; orang tua atau anaknya yang tidak terikat perkawinan. Artinya, delik perzinahan tak bisa semua pihak dapat membuat pengaduan.
“Jadi, delik perzinahan KUHP baru menyasar juga pelaku yang keduanya tidak dalam ikatan perkawinan,” ujar Budi Suhariyanto dalam sebuah diskusi bertajuk “Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia”, Selasa (13/12/2022).
Baca Juga:
- 10 Catatan Komnas Perempuan terhadap Materi KUHP Baru
- Kupas-Tuntas Ketentuan Pidana Korporasi dalam KUHP Baru
- Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Tolak KUHP Baru
Dia menerangkan delik aduan absolut menjadi batasan pihak yang memiliki hak membuat aduan atau laporan ke pihak aparat penegak hukum. Ia melihat pengaturan delik perzinahan dalam KUHP baru sebagai jalan tengah, tidak terlalu konservatif maupun liberal. Kendati terdapat laporan atau aduan misalnya, ternyata masih dibuka peluang dicabutnya laporan sepanjang perkara belum diperiksa di persidangan.
“Artinya, KUHP baru masih memberi kesempatan keberlangsungan kehidupan privasi pasangan suami istri sepanjang adanya penyesalan, keinsyafan secara internal, dan kekeluargaan agar bisa kembali menjalani kehidupan harmonis.”