Menyoal Mekanisme Peradilan Umum atau Militer Dalam Kasus Pembunuhan Warga Aceh
Terbaru

Menyoal Mekanisme Peradilan Umum atau Militer Dalam Kasus Pembunuhan Warga Aceh

Sejatinya, perkara yang melibatkan subjek hukum sipil dan militer secara bersama sudah diatur dalam Pasal 89- Pasal 94 KUHAP sebagai perkara koneksitas.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Dalam artikel Hukumonline berjudul Polemik Penanganan Kasus Korupsi Basarnas, Peradilan Umum atau Militer?, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Reda Manthovani menjelaskan perkara koneksitas memiliki dua unsur. Yaitu subjek atau persona yang melakukan tindak pidana dan kompetensi peradilan yang mengadili persona tadi. Pertama, unsur pelaku tindak pidana memiliki dua kategori yaitu sipil dan prajurit TNI dan kedua-duanya harus bermufakat atau menyadari bekerja bersama-sama melakukan tindak pidana.

Kedua, mengingat personanya terdiri atas sipil dan militer, maka terdapat dua irisan kompetensi absolut. Yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Keduanya memiliki peluang untuk mengadili perkara tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sipil dan militer. Sehubungan dengan kompetensi peradilan mana yang berwenang, sebenarnya terletak pada hulu atau awal dari penanganan perkaranya ketika dimulainya penyelidikan atau penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP.

Penelitian bersama

Sepanjang ditemukan perkara yang melibatkan sipil dan militer, semestinya didahului dengan membentuk Tim Koneksitas yang terdiri dari gabungan penyidik Polri/Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)/Jaksa bersama dengan Polisi Militer, Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 198 UU 31/1997. Nantinya, Tim Koneksitas pada tahap pra penuntutan/penuntutan menyertakan kegiatan ‘penelitian bersama’ antara jaksa, oditur militer atas dasar hasil penyidikan Tim Koneksitas.

Keseluruhan hasilnya nantinya dituangkan dalam sebuah berita acara. Apabila dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka persesuaian pendapat tadi harus dilaporkan oleh Jaksa atau Jaksa tinggi kepada Jaksa Agung. Begitupun pelaporan bakal dilakukan oleh Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi kepada Oditur Jenderal ABRI atau TNI.

Persesuaian pendapat ini memiliki dua substansi kesepakatan yang berujung pangkal kepada sejauh mana Tim Koneksitas tadi memutuskan titik berat kerugian yang timbul dari tindak pidana. Pertama, Pasal 91 ayat (1) KUHAP menuntun apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum. Dengan demikian, perkara pidana mesti diproses di peradilan umum. Maka, perwira penyerah perkara membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum.

Surat keputusan ini kemudian menjadi dasar bagi penuntut umum mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang. Selain itu, Pasal 92 ayat (1) KUHAP mengharuskan agar berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh Tim Koneksitas harus dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.

Kedua, Pasal 91 ayat (2) KUHAP eksplisit menetapkan apabila menurut pendapat dari Tim Koneksitas titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pendapat tersebut menjadi dasar Oditur Jenderal TNI untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam).

Tags:

Berita Terkait