Mindful ala Caroline Djajadiningrat Jelang Dua Dekade Berkarier In-House Counsel
Utama

Mindful ala Caroline Djajadiningrat Jelang Dua Dekade Berkarier In-House Counsel

Setiap persoalan yang menghadang dilihatnya dari sudut pandang berbeda. Hambatan berarti tantangan baru untuk dirinya dan hal menarik untuk dijalani.

Willa Wahyuni
Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Ada pertimbangan yang tidak mudah dalam babak kehidupan Caroline Djajadiningrat setelah memiliki buah hati. Apakah akan melanjutkan karier di kantor hukum sebagai lawyer atau mencoba kesempatan baru yang lebih nyaman?

Tidak bisa dimungkiri, ada kodrat sebagai ibu yang disandangnya. Ini membuat dirinya perlu berpikir jauh ke depan atas masa depannya tanpa meminggirkan peran sebagai ibu bagi dua buah hatinya.

“Kita semua tahu dan setuju bahwa bekerja sebagai lawyer di kantor hukum itu seperti never ending job yang bekerja dari pagi ke pagi lagi. Setelah memiliki dua anak, saya berpikir lagi mengenai pekerjaan yang bisa menyeimbangkan kehidupan karier dan pribadi, akhirnya saya memutuskan untuk hijrah dari law firm ke in-house counsel,” cerita Caroline selaku Director of Legal, License & Compliance PT Rekso Nasional Food kepada Hukumonline, Selasa (26/3/2024).

Baca juga:

Akhirnya, Caroline resmi memilih untuk mencoba peruntungan dan melebarkan sayap di bidang pekerjaan in-house counsel pada tahun 2005. Sebelum mantap berkarier in-house counsel, Caroline berpengalaman sebagai konsultan hukum bidang capital market di Hadiputranto, Hadinoto and Partners (HHP) Law Firm. 

“Saat kuliah saya sempat magang di HHP, lalu setelah lulus memutuskan untuk mengambil program LL.M. di Amerika. Berselang satu tahun, saya kembali ke Jakarta dan kembali bergabung di HHP selama hampir tujuh tahun,” imbuh dia.

Selepas menimba ilmu di bangku Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tahun 1998, Caroline menjalani posisi sebagai Associate di HHP Law Firm sejak tahun 2000. Profesi itu masih digeluti hingga September 2005. Pada tahun yang sama ia resmi menjadi in-house counsel di McDonald’s Indonesia.

Pada saat itu McDonald’s Indonesia masih 100% kepunyaan asing. Baru pada tahun 2009 usaha restoran cepat saji ini diambil alih oleh grup Rekso Nasional Food milik salah satu pengusaha Indonesia. Caroline akhirnya masuk ke induk perusahaan Rekso grup sejak tahun 2010.

“Saat itu saya sempat galau, karena tidak pernah bekerja di perusahaan lokal, tapi akhirnya saya berpikir kalau saya tidak memberi kesempatan untuk diri saya mencoba, maka saya tidak akan pernah tahu rasanya. Untuk itulah, akhirnya sejak 2005 itu perjalanan saya sebagai in-house counsel dimulai sampai kini di tahun 2024,” jelas lulusan FHUI angkatan 1994 ini.

Hukumonline.com

Caroline Djajadiningrat - Director of Legal, License & Compliance PT Rekso Nasional Food. Foto: RES

Rekso adalah entitas yang terdiversifikasi dengan konsentrasi dalam teh, makanan dan minuman, properti, perkebunan, percetakan, dan kemasan. Andalan perusahaan Rekso di Indonesia termasuk kepemilikan saham mayoritas di PT Sinar Sosro—salah satu perusahaan minuman terbesar di Indonesia—, PT Rekso Nasional Food—master franchisee CorporationMcDonald’s di Indonesia—, dan PT Gunung Slamat, produsen teh no.1 Indonesia. Ketiga flagships ini membentuk bisnis inti grup Rekso. Selain itu, Rekso juga memiliki perkebunan teh swasta terbesar di Indonesia.

Sepanjang bercerita tentang pekerjaannya sebagai in-house counsel, senyum lebar tidak lepas dari raut wajah Caroline. Ia terlihat sangat mencintai pekerjaannya yang dapat dilihat dari hampir dua dekade ia berkarir sebagai in-house counsel.

“Menarik sekali bekerja sebagai in-house counsel, karena pekerjaan ini saya menghandle banyak anak perusahaan sehingga tidak membosankan. Kalau di law firm begitu diberi servis, ya sudah selesai saja, tapi untuk in-house counsel kita melihat dari dia lahir, eksekusinya, hingga hasilnya. Perjalanan itu yang menarik dan membuat saya belajar banyak,” ujar alumni Boston University School of Law ini.

Sepanjang berkarier sebagai in-house counsel hampir 20 tahun, Caroline mengaku belum pernah mengalami hambatan dalam pekerjaannya. Setiap persoalan yang menghadang ia lihat dari dari sudut pandang berbeda. Hambatan yang ditemui berarti tantangan baru untuk dirinya dan hal menarik untuk dijalani.

Ia juga menggambarkan pekerjaannya seperti layaknya mengurus mini law firm, karena saat ini ia memegang banyak anak perusahaan. Ini berbeda dengan persepsi yang mengatakan bahwa profesi in-house counsel membosankan karena hanya mengurus satu bidang saja. Pekerjaannya kerap dibandingkan dengan lawyer di kantor hukum yang banyak varian pekerjaannya.

Sebagai lawyer perusahaan, di saat tertentu Caroline turut menggunakan jasa eksternal lawyer dalam membantu pekerjaannya. Namun, karena ia memiliki tim hukum yang mampu menyelesaikan pekerjaan terkait hukum sehari-hari, penggunaan eksternal lawyer hanya dilakukan saat transaksi yang besar saja.

For some big transactional kami menggunakan eksternal lawyer, tapi untuk day to day kami kerjakan sendiri. Tapi terlepas dari itu kami tetap jaga dan saling support satu sama lain, karena untuk urusan profesional kami mendapatkan data dari mereka dan begitupun sebaliknya, sehingga kami saling menjaga hubungan baik,” kata dia.

Dalam mencapai efektivitas pekerjaan sehari-hari ia dan tim memanfaatkan penggunaan teknologi di dalamnya. Layanan pusat data milik Hukumonline adalah platform pertama yang menjadi rujukan Caroline dan tim hukumnya dalam mengerjakan pekerjaan. 

Hukumonline.com

Efektivitas pekerjaan in-house counsel sehari-hari dengan memanfaatkan penggunaan teknologi seperti layanan pusat data milik Hukumonline. Foto: RES

“Hukumonline sangat update soal peraturan. Kalau kita ingin cari sesuatu pasti rujukan pertamanya Hukumonline. Buat saya pengaruh teknologi sangat besar di pekerjaan, meski ada pro kontra di dalamnya ya. Tapi paling tidak dengan satu klik bisa lihat cukup dari satu database yang ada,” lanjutnya.

Sebagai orang hukum yang terkenal kaku dan rigid dalam bekerja, Caroline justru cukup menghindari hal tersebut. Baginya, seorang in-house counsel justru harus adaptif untuk bisa mengemas batasan peraturan dan proses komersial berjalan beriringan dalam pekerjaan.Ia mengimbau bagi lulusan ilmu hukum yang akan memilih karier sebagai in-house counsel agar memiliki kemampuan yang adaptif dan tidak kaku.

“Kadang di bisnis hanya mengutamakan komersial saja, sementara legalnya terbentur aturan dan rambu yang tidak bisa dilanggar. Di sini lah peran in-house counsel, yaitu agar mengutamakan peraturan namun sejalan dengan komersial juga,” ujar Caroline.

Karena mengawali karier dari kantor hukum, Caroline mengerti bahwa tempat belajar yang baik dimulai dari kantor hukum. Ia menyarankan bagi lulusan ilmu hukum yang akan memilih karier apa pun untuk dapat memulai pekerjaan dari sebuah kantor hukum.

“Saya bersyukur bekerja di law firm hampir tujuh tahun. Banyak sekali saya ditempa di kantor hukum meski dari pagi sampai pagi lagi, tapi you can learn a lot. Tidak berarti selama di in-house counsel tidak belajar, justru saat menjadi in-house counsel itu sudah harus ‘jadi’ karena kalian langsung diterjunkan, disuruh bernegosiasi, membuat kontrak, dan mengatasi dispute. Kalau saya menyarankan bekerjalah di konsultan hukum. Itu jadi pilihan awal paling baik,” sarannya.

Di akhir percakapan, Caroline juga mengingatkan untuk tidak pernah menyerah dan lelah dalam memulai karier baik itu di kantor hukum maupun di perusahaan. Selain itu, jangan malu bertanya kepada para senior yang lebih dulu, karena semakin banyak bertanya maka semakin banyak tahu.

“Jangan percaya pada persepsi orang yang mengatakan kerja sebagai in-house counsel itu nggakngapa-ngapain, itu salah besar. Tapi jika selesai sekolah, lebih baik belajar dulu di law firm, itu pondasi kuat dan tempat belajar yang sangat bagus,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait