Pekerja Menjadi Direktur: Anotasi SEMA No.1 Tahun 2022
Kolom

Pekerja Menjadi Direktur: Anotasi SEMA No.1 Tahun 2022

SEMA No.1 Tahun 2022 merupakan referensi hukum pekerja sebelum, pada saat, atau setelah menjadi direksi.

Bacaan 7 Menit
Willy Farianto. Foto: Istimewa
Willy Farianto. Foto: Istimewa

Surat Edaran Mahkamah Agung No.1 Tahun 2022 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, tertanggal 15 Desember 2022 (SEMA No.1 Tahun 2022) telah berlaku. Pada bagian B. Rumusan Hukum Kamar Perdata, angka 2. Perdata khusus, huruf b. Perselisihan hubungan Industrial, disebutkan bahwa:

“Pekerja/buruh yang diangkat menjadi Direksi dalam perusahaan yang sama melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maka secara hukum hubungan kerjanya telah berakhir terhitung sejak diangkat menjadi Direksi, dan pekerja/ buruh tersebut berhak memperoleh uang kompensasi pemutusan hubungan kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan masa kerjanya dihitung sejak adanya hubungan kerja dan upah terakhir adalah upah sebelum diangkat menjadi direksi perusahaan”.

Pemahaman hukumnya adalah, bahwa pekerja yang menjadi direksi di perusahaan tempatnya bekerja secara otomatis hubungan kerjanya berakhir dan berhak atas kompensasi dengan perhitungan masa kerja dihitung sejak joint date sampai dengan diangkat menjadi direksi melalui Rapat Umum Pemegang Saham “RUPS”. Perusahaan perlu mengatur alasan PHK karena menjadi direksi dan jumlah kompensasinya. Upah yang digunakan untuk menghitung kompensasi adalah upah terakhir pada saat masih berstatus pekerja.

Baca juga:

Kita awali dengan pengertian direksi menurut ketentuan umum UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), direksi adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), direksi adalah dewan pengurus atau dewan pimpinan perusahaan.

Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Dalam struktur organisasi perusahaan jabatan atau posisi direksi disebut sebagai director atau direktur. Dalam organisasi perusahaan posisi direktur dapat terdiri dari beberapa direktur yang dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama, yang secara bersama-sama disebut sebagai dewan direksi. Merekalah yang kemudian dipahami sebagai pengusaha yang merupakan subjek hukum dalam hubungan kerja dengan pekerja.

Perlu diketahui juga beberapa perusahaan memberikan sebutan director atau direktur untuk beberapa posisi atau jabatan, namun mereka tidak diangkat berdasarkan RUPS, melainkan diangkat berdasarkan perjanjian kerja, sehingga statusnya adalah pekerja. Kajian tulisan ini membatasi pada direktur yang diangkat berdasarkan RUPS.

Batas antara pengusaha dengan pekerja dalam struktur organisasi perusahaan dapat diketahui dari dasar pengangkatannya. Pengusaha diangkat oleh RUPS sedangkan pekerja diangkat berdasarkan perjanjian kerja. Presiden Direktur/Direktur Utama/Direktur, dalam struktur organisasi perusahaan menempati posisi tertinggi, mereka inilah yang disebut sebagai pengusaha. Posisi selanjutnya dalam struktur organisasi pada umumnya adalah Vice President (VP), General Manager (GM), Manager, sampai dengan posisi terendah, mereka semua disebut sebagai pekerja.

Pembeda pengusaha dengan pekerja sangat penting untuk mengetahui mana pengusaha dan mana pekerja karena melekat kewajiban, hak dan perlindungan hukum masing-masing pihak dalam hubungan kerja. Dengan memahami direktur sebagai pengusaha karena diangkat oleh RUPS maka perlu untuk mengetahui asal usul dari direktur tersebut. Beberapa direktur umumnya berasal dari keluarga pemegang saham, profesional, pekerja perusahaan atau pekerja perusahaan lain yang mendapatkan penugasan khusus dari perusahaan tempatnya bekerja (kelompok usaha).

Sudut pandang hukum ketenagakerjaan Penulis akan mewarnai analisis pekerja perusahaan yang diangkat RUPS menjadi direktur, di perusahaan tempatnya bekerja dan anak perusahaan, terkait status kepegawaian dan hak-haknya.

Pertama, pekerja perusahaan yang diangkat RUPS menjadi direktur di perusahaan tempatnya bekerja secara umum mereka terpilih karena loyalitas, prestasi, integritas dan berbagai macam pertimbangan yang mendasari pemegang saham untuk mengangkat pekerja menjadi direktur. Ketidaktahuan dan suasana hati pekerja pada saat diangkat menjadi direktur kerap menghalangi keberanian untuk mempertanyakan haknya pada saat statusnya pekerja. Begitu juga perusahaan seolah “lupa” ada hak pekerja yang harus dibayarkan. Perselisihan hak kerap terjadi pada saat pekerja selesai masa jabatannya atau diberhentikan sebagai direktur.

SEMA No.1 Tahun 2022, menjadi referensi hukum bagi pengurus perusahaan (baca pengusaha) dan pekerja, untuk dapat memahami perubahan status pekerja, waktu berakhirnya hubungan kerja, dan hak pekerja yang diangkat menjadi direksi. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) melalui konsep hubungan kerja yang dirumuskan sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, sebenarnya telah gamblang membedakan antara pengusaha dengan pekerja. Kata kuncinya terletak pada perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan hukum, direksi hubungan hukumnya dengan perusahaan berdasarkan akta atau keputusan RUPS, sedangkan pekerja berdasarkan perjanjian kerja.

SEMA No.1 Tahun 2022, sejujurnya masih memerlukan sedikit penyempurnaan terkait besaran kompensasi PHK bagi pekerja yang menjadi direktur. Diketahui bersama komponen kompensasi PHK terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Alasan PHK dalam Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) memberikan pemahaman hukum bahwa alasan PHK linier dengan kompensasi.

Misalkan alasan PHK karena pensiun, kompensasinya pesangon 1.75 x masa kerja x upah, uang penghargaan masa kerja 1 x masa kerja x upah, dan uang penggantian hak. Alasan PHK karena pelanggaran Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), kompensasinya pesangon 0.5 x masa kerja x upah, uang penghargaan masa kerja 1 x masa kerja x upah, dan uang penggantian hak. Alasan PHK karena pekerja menjadi direksi tidak diatur dalam UUK, Perppu Cipta Kerja maupun PP 35/2021. Dengan begitu bagaimana menghitung kompensasi pesangonnya, karena diperlukan faktor pengali masa kerja dan upah, apakah 0.5 atau 1 atau 1.75 atau 2 atau sesuai keinginan pengusaha atau kesepakatan.

Alasan PHK dan kompensasi dapat dikelompokkan menjadi; alasan PHK karena masalah keuangan perusahaan dan pelanggaran, faktor pengalinya 0.5, atau alasan PHK bukan karena masalah keuangan dan pelanggaran adalah 1 atau 1.75 atau 2. Pemahaman ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan faktor pengali yang patut digunakan untuk menghitung pesangon pekerja yang menjadi direksi. Pemahaman patut maksudnya pekerja menjadi direktur tidak terkait masalah keuangan dan pelanggaran. Selain itu alasan PHK menjadi direktur dan kompensasinya tidak diatur dalam UUK, Perppu Cipta Kerja, dan peraturan pelaksananya (kaidah hetronom). Oleh karena itu perlu diatur secara otonom di setiap perusahaan baik dalam PP atau PKB.

Mengatur hak dan kewajiban yang sudah diatur kemudian diatur lebih baik atau mengatur hak dan kewajiban yang belum diatur adalah materi dari PP dan PKB (baca syarat kerja). Dengan demikian ketentuan SEMA No.1 Tahun 2022, yang menyatakan “….berhak memperoleh uang kompensasi pemutusan hubungan kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku…….”. dapat dipahami sebagai uang kompensasi PHK sesuai dengan PP atau PKB (baca kaidah otonom).

Penulis berpandangan faktor pengali 1 sebagai batas minimal pesangon, dengan pertimbangan berakhirnya hubungan kerja bersifat “semu” karena secara aktual pekerja masih tetap bekerja dan menerima penghasilan dari perusahaan yang sama.

SEMA No.1 Tahun 2022, merupakan referensi hukum pekerja sebelum, pada saat, atau setelah menjadi direksi. Hal tersebut mengingat hak pekerja akan tetap melekat karena tidak terdapat batas waktu atau daluwarsa suatu hak, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012, tertanggal 19 September 2013. Berdasarkan pemahaman konsep hubungan kerja UUK, pada bagian sebelumnya mengenai batas dan pembeda antara pengusaha dengan pekerja, maka hak pekerja yang diangkat menjadi direksi di perusahaan tempatnya bekerja adalah kompensasi PHK.

SEMA No.1 Tahun 2022, tidak dapat dikatakan berlaku surut apabila digunakan sebagai alas hak pekerja untuk menuntut kompensasi PHK karena pekerja menjadi direksi, walapun peristiwa terjadi sebelum terbitnya SEMA, karena norma dalam UUK telah mengatur hak pekerja tersebut. Dapat dipahami juga seluruh alasan PHK yang diatur dalam kaidah hetrenom (baca peraturan perundang-undangan) selalu linier dengan kompensasi baik status PKWT maupun PKWTT, artinya semua alasan PHK menimbukan kewajiban berupa pembayaran hak bagi pekerja, kecuali dalam masa percobaan. Bahkan alasan PHK karena mangkir, yang merupakan bentuk pelanggaran tidak bertanggung jawab karena meninggalkan tugas dan tanggung jawab, masih berhak atas uang pisah.

Sependek pemahaman Penulis, SEMA No.1 Tahun 2022 merupakan kaidah yang mengatur operasionalisasi atau penerapan UUK dan bukan sebagai norma baru. Dalam banyak kasus ketenagakerjaan kebuntuan dalam penerapan hukum diatur operasionalisasi atau penerapannya melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI).

Kedua, pekerja perusahaan (baca holding atau induk perusahaan) yang diangkat RUPS menjadi direktur anak perusahaan (baca perusahaan penerima) yang masih dalam satu kelompok usaha. SEMA No.1 Tahun 2022, belum memberikan arah atau pedoman manakala pekerja diangkat RUPS untuk menjadi direksi di anak perusahaan. Secara empiris dalam kelompok usaha, holding atau induk perusahaan kerap menugaskan pekerjanya untuk menjadi direksi di salah satu anak perusahaan yang merupakan kelompok usahanya.

Dalam hal demikian sebagian perusahaan membekukan masa kerja pekerja tersebut pada saat menjadi direksi, sebagian lagi tetap memperhitungkan masa kerjanya. Masa kerja merupakan komponen untuk perhitungan pesangon dan penghargaan masa kerja, yang dapat menjadi pemicu perselisihan manakala terdapat perbedaan pendapat mengenai cara menghitungnya.

Pekerja dari perusahaan yang diangkat RUPS menjadi direksi di anak perusahaan kerap berselisih dengan perusahaan karena dinilai telah mengakibatkan kerugian bagi anak perusahaan. Dalam hal demikian apakah penyelesaian perselisihan merujuk pada UUK atau UUPT.

Penulis berpandangan untuk menghitung masa kerjanya selama menjalani penugasan khusus sebagai direksi di anak perusahaan, dengan konsekuensi hukum selama menjadi direktur anak perusahaan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Apabila merugikan anak perusahaan, dalam prespektif hukum ketenagakerjaan hal tersebut dipahami sebagai pelanggaran, dengan sanksi surat peringatan sampai dengan pemutusan hubungan kerja walaupun perbuatan hukunya dalam kapasitas sebagai direktur anak perusahaan. Pertimbangan hukumnya karena pekerja menjadi direktur dalam rangka penugasan khusus dari perusahaan. Terkait hal tersebut Penulis berharap Mahkamah Agung mengaturnya.

*)Dr. Willy Farianto adalah seorang advokat, fasilitator CHRP FH Atma Jaya Jakarta dan pengajar Hukum Perburuhan FH UPN Veteran Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait