Pemerintah Pertimbangkan Keluarkan Delik Narkotika dari RKUHP
Terbaru

Pemerintah Pertimbangkan Keluarkan Delik Narkotika dari RKUHP

Tapi mesti membahas terlebih dahulu dengan tim internal pemerintah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Setelah melakukan sosialisasi dan menyerap masukan dalam upaya penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pemerintah menyodorkan ke Komisi III DPR. Babak baru pembahasan bakal dimulai. Beragam masukan datang pula dari sejumlah anggota dewan. Seperti melakukan simulasi, sinkronisasi, dan harmonisasi dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang berjalan. Salah satunya Revisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Nakotika.

Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari melihat masih terdapat kebutuhan melakukan perbaikan terhadap draf RKUHP. Seperti reformulasi, harmonisasi, sinkronisasi, maupun penambahan penjelasan. Dia mengingatkan langkah tersebut dilakukan agar di kemudian hari pemerintah maupun DPR tak menyesal lantaran adanya pasal yang terlewat pembahasannya.

Dia mengusulkan dalam satu kali masa sidang mendatang, pembahasan RKUHP dapat dilakukan secara maraton dan mendalam terutama pasal yang berpotensi menjadi masalah di kemudian hari dalam implementasinya di lapangan. Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu mengusulkan agar dilakukan simulasi sejumlah pasal yang menjadi pro dan kontra di masyarakat. Misalnya, kata pria biasa disapa Tobas itu, masyarakat menilai adanya perbuatan yang dapat dikriminalisasi, tapi implementasi di lapangan ternyata sebaliknya.

“Nah kita simulasikan pembahasan resmi menjadi memorie van toelichting. Itu bisa menjadi pedoman hakim memutus dan ketika penegak hukum melakukan penegakan hukum. Jadi kekhawatiran publik bahwa ada kriminalisasi bisa dijawab dengan memorie van toelichting,” ujar Tobas dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah terkait penjelasan hasil sosialisasi RKUHP di Komplek Gedung Parlemen, Senin (3/10/2022) lalu.

Baca Juga:

Dia menyinggung soal perlunya sinkronisasi kebijakan hukum dalam RKUHP dengan Revisi UU 35/2009. Menurutnya, pemerintah sedang menyiapkan draf RUU Narkotika. Apalagi RUU tersebut menjadi usulan inisiatif pemerintah. Dia berpandangan saat pembahasan RKUHP terkait pidana narkotika bersentuhan dengan mengedepankan rehabilitasi.

Bagi pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat itu, soal mereduksi pendekatan pidana pada Revisi UU 35/2009 mesti sinkron dengan RKUHP. Begitu pula sebaliknya soal rehabilitasi dengan yang ada dalam RKUHP terkait delik narkotika. ”Kebijakan hukum di RUU Narkotika dan RKUHP harus sinkron. Sehingga pemerintah harus bisa melakukan sinkronisasi,” ujarnya.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan sependapat dengan pandangan Tobas. Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu menyusun time line. Seperti memutuskan 14 isu krusial yang telah disepakati terlebih dahulu di tahap pertama agar menjadi lebih jelas.

Menurutnya, pembahasan RKUHP di masa sidang tersisa, bersifat terbuka tapi terbatas. Artinya, terbatas di satu sisi tidak dibahas selurunya. Tapi terbuka, tak sekedar 14 isu semata karena masih terdapat pasal-pasal lain di luar 14 isu itu. Soal pidana narkotika, kata pria biasa di sapa Eddy itu, pemerintah memang sedang melakukan revisi UU 35/2009.

“Memang kita akan pertimbangkan. Nanti kami akan bicara dalam tim internal sebaiknya memang (delik narkotika dalam RKUHP, red) tidak diatur. Kita menunggu saja RUU Narkotika,” tegasnya.

JRKN Dukung

Anggota Jaringan Reformasi Kebijakan Narkorika (JRKN), Erasmus Napitupulu menyatakan dukungannya atas kesepakatan antara pemerintah dan DPR itu. Menurutnya, dalam draf RKUHP terbaru, tindak pidana narkotika diatur pada bagian kelima Pasal 614–619 RKUHP. Dalam draf RKUHP itu mengatur beberapa larangan perbuatan yang sama dengan UU Narkotika.  

Seperti menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan. Kemudian menjual, membeli, menerima, menukar, menyerahkan, membawa, mengirim, mengangkut, mentransit, tanpa evaluasi mendasar pada rumusan pasal. 

“Ketentuan tindak pidana narkotika dalam RKUHP masih berfokus pada pendekatan-pendekatan pidana. Padahal pengaturan ini tidak menjadi sebuah solusi atas permasalahan narkotika yang ada di Indonesia saat ini,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu berpendapat dalam pengaturan tersebut tidak dimuat aspek administratif yang diatur dalam 35/2009. Seperti mengenai penggolongan narkotika dan pendekatan kesehatan. Dia menilai bila harus mengacu UU 35/2009, sejatinya tak lagi ada urgensi memasukkan ketentuan tindak pidana narkotika dalam RKUHP. Toh, memang sedari awal perbuatan tersebut adalah tindak pidana administrasi.

“Atas hal ini, JRKN menyerukan cabut pasal tindak pidana narkotika dari RKUHP. Kemudian fokus revisi UU Narkotika dengan pendekatan kesehatan dan bukan pidana dengan dekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi, optimalisasi penggunaan narkotika untuk medis, dan hapus rehabilitasi sebagai hukuman,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait