Perlu Jaminan Keamanan bagi Pelapor Temuan Pelanggaran dalam Pemilu
Berita

Perlu Jaminan Keamanan bagi Pelapor Temuan Pelanggaran dalam Pemilu

Tidak semua orang mau melapor, apalagi jika berhadapan dengan kekuatan besar.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Desain penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia boleh dikatakan sebagai salah satu yang terlengkap. Mulai dari desain kelembagaan yang memisahkan antara lembaga pelaksana dengan lembaga pengawas, hingga struktur vertikal kelembagaan penyelenggara pemilu. Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, regulator dan pengawas dipisahkan.

Meski begitu, ada satu hal yang dinilai kurang dari semua infrastruktur penyelenggaraan pemilu yang demokratis yang telah ada. Dalam rangka memperkuat iklim demokrasi yang partisipatif, penyelenggara pemilu atau pembuat undang-undang terkesan melupakan salah satu unsur penting yakni pelapor. Pelapor dalam konteks penyelenggaraan pemilu adalah salah satu bagian penting dari upaya menghadirkan iklim dan penyelenggaraan pemilu yang taat asas dan demokratis. Secara umum, pelapor adalah orang yang melaporkan pelamnggaran pemilu.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, pada dasarnya semua sisi desain penyelenggaraan pemilu telah diperbaiki dan ditata dengan baik. Namun khusus untuk pelapor, skema perlindungan dan jaminan keamanan seolah luput dari perhatian sehingga dari aspek desain belum banyak mengalami kemajuan. “Kita belum memperkuat jaminan dan perlindungan terhadap pelapor, padahal salah satu kendala penegakan hukum pemilu adalah keamanan perlindungan terhadap pelapor,” ujar Titi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (11/4).

Menyoroti maraknya dugaan politik uang yang terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu, terutama setelah diungkapnya temuan ratusan ribu amplop yang dipersiapkan sebagai serangan fajar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Titi menilai keamanan pelapor harus juga menjadi prioritas. Saat ini yang sering terjadi, keengganan pihak yang mengetahui adanya pelanggaran pemilu di masyarakat melaporkan pelanggaran tersebut karena aspek keamanan mereka belum terjamin.

(Baca juga: Pemilu Makin Dekat, Ingat Kasus OTT Serangan Fajar).

Selain itu, masyarakat awam menganggap mekanisme dan prosedur pelaporan panjang dan berbelit-belit, dan tak sebanding dengan keselamatan dan keamanan pelapor. Pelapor harus melalui banyak mekanisme agar laporannya ditindaklanjuti. “Selain itu tidak semua orang mau melapor apalagi jika berhadapan dengan kekuatan yang besar. Komunitas kita belum menjadi bagian dari supporting system itu,” ujar Titi.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar mengaku kerap kali menerima laporan dari sejumlah pihak terkait temuan dugaan pelanggaran pemilu yang terjadi di lapangan.  Menurut Haris, laporan yang disampaikan oleh masyarakat terlepas dari proses di Bawaslu seperti apa, setidaknya sudah menunjukkan ada indikasi. “Teorinya gampang, ada asap ada api. Penting untuk melihat apinya sendiri,” ujar Haris.

Haris menilai tingkat kepedulian masyarakat terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan aparat hukum, aparatur sipil negara, dan penyelenggara cukup tinggi. Buktinya, tak sedikit warga masyarakat yang ikut mengadukan temuan potensi pelanggaran ke Lokataru. Intensitas aduan juga kerap terjadi berulang pada satu temuan yang sama. Pesatnya perkembangan teknologi membuat siapapun mudah menyampaikan laporan.

Haris melihat banyaknya laporan adalah bagian dari upaya pembelajaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Di sinilah Haris melihat adanya kekurangan desain penanganan laporan. Karakteristik Pemilu yang memberikan jeda waktu yang singkat seringkali menjadi tantangan tersendiri dalam proses mencari kebenaran terhadap laporan masyarakat. “Keterbatasan kita yang cukup tidak terfasilitasi upaya mencari kebenaran terkait pemilu. Hal ini karena memang waktunya yang singkat,” terang Haris.

Netralitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu juga penting diperhatikan. Fenomena kotak kosong, misalnya. Pemilih yang memutuskan untuk memilih kotak kosong seringkali mendapat intimidasi secara terang bahkan saat masih berada di TPS. Ironisnya, aparat keamanan dan penyelenggara terkesan membiarkan intimidasi terjadi. Sebagai pihak yang netral, seharusnya aparat menjalankan tugas dengan baik, dan harus netral.

Membangun Kepercayaan

Titi Anggraini mengingatkan semua pihak penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah ujian bagi semua pihak terutama penyelenggara Pemilu. Pekerjaan rumah yang harus bisa diselesaikan adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap penyelenggara. Caranya?  Penyelenggara harus dapat memastikan jalannya setiap proses dan tahapan secara benar dan transparan. Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus bisa menunjukkan netralitas dan profesionalitas.

Titi juga mengajak semua pihak untuk menaruh kepercayaan kepada penyelenggara dengan tetap kritis melakukan pengawalan. “Perlu membangun kepercayaan kepada lembaga tanpa mengurangi derajat kontrol kita sebagai masyarakat sipil,” ujar Titi.

(Baca juga: Mengawal Integritas Lembaga Pemutus Perkara Pemilu).

Kepercayaan terhadap penyelenggara merupakan hal penting mengingat legitimasi terhadap hasil Pemilu menjadi pertaruhan. Kesadaran yang sama harus juga diperhatikan oleh pihak penyelenggara. Dari segi sistem menurut Titi, mekanisme pungut hitung yang terdapat di Indonesia adalah mekanisme paling transparan. Sejak dari tahapan TPS hingga KPU terdapat sistem yang mendesain agar hasil penghitungan suara tidak terjadi perubahan.

Meski begitu, hal ini harus tetap didukung oleh penyelenggara yang netral dan profesional. Integritas penyelenggara menjamin tidak terjadi perubahan terhadap hasil penghitungan suara. Titi menilai pada hasil penghitungan berpindah dari TPS ke kecamatan merupakan saat yang paling rawan. Tanpa keberadaan penyelenggara yang berintegritas, bisa saja terjadi perubahan hasil penghitungan pada tahap ini.

Tags:

Berita Terkait