Penjelasan umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU 30/1999) menyatakan sejumlah keunggulan arbitrase. Sebut saja misalnya proses cepat dan putusan mengikat yang langsung dapat dilaksanakan. Keunggulan-keunggulan arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa ini tampaknya disepakati oleh pelaku usaha.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)—salah satu institusi arbitrase terkemuka di Indonesia—mengakui ada peningkatan perkara yang ditanganinya. Sejak berdiri hingga hari ini BANI telah menangani lebih dari 1.000 perkara. Data BANI mencatat perkara-perkara yang mereka terima utamanya terkait konstruksi, pembiayaan dan perdagangan.
Baca juga:
5 Strategi Pra Arbitrase yang Harus Dipahami
Urgensi Badan Arbitrase Dukung Stabilitas Bisnis di Indonesia
Melihat Arbitrase dalam Praktik Yurisprudensi
Kecenderungan internasional pun demikian. Survei Queen Mary University of London tahun 2021 menempatkan arbitrase sebagai pilihan utama penyelesaian sengketa lintas batas. Tercatat 90% responden survei tersebut memilih arbitrase. Namun, sejumlah tantangan terhadap proses arbitrase nyatanya masih ada terutama soal pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase. Prof.Takdir Rahmadi sebagai Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung mengakui kenyataan itu (Hukumonline, 2023). Mahkamah Agung terlihat berusaha menanganinya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan, dan Pembatalan Putusan Arbitrase (Perma 3/2023) belum lama ini.
Besar kemungkinan Perma 3/2023 adalah kelanjutan dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 190/KMA/SK/VI/2022 tentang Kelompok Kerja Arbitrase yang menunjukkan perhatian khusus terhadap proses arbitrase di Indonesia. Perma 3/2023 inilah yang menjadi pokok tulisan ini. Secara umum Perma 3/2023 harus disambut baik.
Banyak hal yang sebelumnya tidak jelas diatur dalam UU 30/1999 diberikan penjelasan oleh Perma 3/2023. Contohnya mengenai penunjukkan arbiter oleh pengadilan. Hal lainnya yang dijelaskan adalah penegasan ketiadaan upaya hukum terhadap putusan yang melaksanakan putusan arbitrase internasional. Dijelaskan pula jangka waktu terbitnya putusan untuk melaksanakan putusan arbitrase internasional.
Namun, ada tiga hal yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Tulisan ini akan membahasnya satu per satu. Ketiganya adalah ketentuan mengenai imunitas arbiter dan lembaga arbitrase, persyaratan pendaftaran putusan arbitrase internasional, dan penetapan sita jaminan.
Imunitas Arbiter
Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 menyatakan bahwa apabila ada permohonan pembatalan putusan arbitrase maka arbiter dan/atau lembaga arbitrasenya bukan merupakan pihak. Ini merupakan penegasan dan kelanjutan dari Pasal 21 UU 30/1999 mengenai imunitas arbiter yang diberikan dengan pengecualian adanya iktikad buruk (Rekso Wibowo, 2023).