Plus dan Minus Arbitrase dalam Perma No.3 Tahun 2023
Kolom

Plus dan Minus Arbitrase dalam Perma No.3 Tahun 2023

Tiga catatan penting soal imunitas arbiter, pendaftaran putusan arbitrase internasional, dan penetapan sita jaminan.

Bacaan 5 Menit
Plus dan Minus Arbitrase dalam Perma No.3 Tahun 2023
Hukumonline

Penjelasan umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU 30/1999) menyatakan sejumlah keunggulan arbitrase. Sebut saja misalnya proses cepat dan putusan mengikat yang langsung dapat dilaksanakan. Keunggulan-keunggulan arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa ini tampaknya disepakati oleh pelaku usaha.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)—salah satu institusi arbitrase terkemuka di Indonesia—mengakui ada peningkatan perkara yang ditanganinya. Sejak berdiri hingga hari ini BANI telah menangani lebih dari 1.000 perkara. Data BANI mencatat perkara-perkara yang mereka terima utamanya terkait konstruksi, pembiayaan dan perdagangan.

Baca juga:

5 Strategi Pra Arbitrase yang Harus Dipahami

Urgensi Badan Arbitrase Dukung Stabilitas Bisnis di Indonesia

Melihat Arbitrase dalam Praktik Yurisprudensi

Kecenderungan internasional pun demikian. Survei Queen Mary University of London tahun 2021 menempatkan arbitrase sebagai pilihan utama penyelesaian sengketa lintas batas. Tercatat 90% responden survei tersebut memilih arbitrase. Namun, sejumlah tantangan terhadap proses arbitrase nyatanya masih ada terutama soal pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase. Prof.Takdir Rahmadi sebagai Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung mengakui kenyataan itu (Hukumonline, 2023). Mahkamah Agung terlihat berusaha menanganinya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan, dan Pembatalan Putusan Arbitrase (Perma 3/2023) belum lama ini.

Besar kemungkinan Perma 3/2023 adalah kelanjutan dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 190/KMA/SK/VI/2022 tentang Kelompok Kerja Arbitrase yang menunjukkan perhatian khusus terhadap proses arbitrase di Indonesia. Perma 3/2023 inilah yang menjadi pokok tulisan ini. Secara umum Perma 3/2023 harus disambut baik.

Banyak hal yang sebelumnya tidak jelas diatur dalam UU 30/1999 diberikan penjelasan oleh Perma 3/2023. Contohnya mengenai penunjukkan arbiter oleh pengadilan. Hal lainnya yang dijelaskan adalah penegasan ketiadaan upaya hukum terhadap putusan yang melaksanakan putusan arbitrase internasional. Dijelaskan pula jangka waktu terbitnya putusan untuk melaksanakan putusan arbitrase internasional.

Namun, ada tiga hal yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Tulisan ini akan membahasnya satu per satu. Ketiganya adalah ketentuan mengenai imunitas arbiter dan lembaga arbitrase, persyaratan pendaftaran putusan arbitrase internasional, dan penetapan sita jaminan.

Imunitas Arbiter

Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 menyatakan bahwa apabila ada permohonan pembatalan putusan arbitrase maka arbiter dan/atau lembaga arbitrasenya bukan merupakan pihak. Ini merupakan penegasan dan kelanjutan dari Pasal 21 UU 30/1999 mengenai imunitas arbiter yang diberikan dengan pengecualian adanya iktikad buruk (Rekso Wibowo, 2023).

Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 adalah penegasan dan kelanjutan yang memang diperlukan. Hal ini mengingat hampir seluruh gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase—secara tidak perlu—malah menarik pihak lembaga arbitrase. Lihat contohnya pada putusan arbitrase nasional PT Pertamina EP v. Konsorsium PT Inti Karya Persada Tehnik dan PT Adhi Karya (Persero), BANI serta PT Bank Mandiri Tbk. (2016). Contoh pada putusan arbitrase internasional misalnya PT Media Nusantara Citra, Tbk. v. Ang Choon Beng, Linktone International Limited, Linktone Ltd., Gordon Smith dan SIAC (2018).

Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 sesuai dengan konsep imunitas arbiter dan lembaga arbiter yang berlaku secara internasional. Contohnya di Pasal 25A Singapore International Arbitration Act dan Pasal 29 United Kingdom Arbitration Act. Namun, tetap ada pengecualian. Kita bisa belajar dari perkara PT Timas Suplindo v. BANI dan Leighton Offshore Pte. Ltd. (2016). Satu pihak menggugat lembaga arbitrase BANI terkait hak ingkar dan izin kerja arbiter asing yang telah ditunjuk. Jadi, suatu lembaga arbitrase dan mungkin arbiter dapat tetap dijadikan pihak di dalam gugatan terkait hak ingkar. Imunitas atau pengecualian sebagaimana ada di Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 tidak ada dan tidak diatur khusus untuk permohonan hak ingkar ke pengadilan yang diatur di Pasal 5 Perma 3/2023.

Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

Perkara PT Garuda Indonesia v. Birgen Air (2002) memperjelas bahwa bisa terdapat perbedaan antara domisili hukum (seat) dan tempat pelaksanaan persidangan (venue) suatu proses arbitrase. Perkara tersebut juga memperlihatkan bahwa negara yang terlibat dalam suatu proses arbitrase internasional bisa banyak. Bisa ada negara pemohon, negara termohon, negara seat, dan negara venue.

Sayang sekali dalam hal ini Pasal 7 ayat (3) Perma 3/2023 patut disesalkan. Isinya tentang pengaturan mengenai pendaftaran putusan arbitrase internasional, tetapi sekadar mengulangi Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999. Perlu diingat ada perbedaan—entah disengaja atau tidak—antara Pasal 66 huruf a UU 30/1999 dengan Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999. Masalahnya perbedaan itu menimbulkan ketidakjelasan yang seharusnya bisa diluruskan oleh Perma 3/2023.

Pasal 66 huruf a UU 30/1999 mengatakan negara yang harus terikat dalam suatu perjanjian pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah negara di mana putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan—sederhananya adalah negara tempat seat. Di sisi lain Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999 mengatakan bahwa negara yang harus terikat dalam suatu perjanjian pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah negara pemohon.

Jelas di dalam praktik bahwa ada kemungkinan perbedaan antara negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan dengan negara pemohon. Hal ini yang kemudian dieksploitasi pada perkara PT Indiratex Spindo v. Kepala Perwakilan Indonesia di London (2014) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. PT Indiratex Spindo menggugat surat keterangan dari Kedutaan Besar Indonesia di London. Isi surat itu menyatakan bahwa Pasal 66 huruf a dan Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999 terpenuhi—karena Inggris sebagai tempat putusan arbitrase dikeluarkan oleh International Cotton Association merupakan penandatangan New York Convention 1958.

Masalahnya, pemohon di dalam perkara tersebut—yaitu Everseason Enterprises Ltd.—berasal dari British Virgin Islands yang bukan penandatangan New York Convention 1958. Artinya, perbedaan yang ada di Pasal 66 huruf a dan Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999 seharusnya diluruskan Perma 3/2023. Ketidakjelasan yang ada dapat kembali dimanfaatkan pihak-pihak tidak mau mematuhi suatu putusan arbitrase.

Penetapan Sita Jaminan

Pasal 32 UU 30/1999 mengatakan bahwa putusan provisionil atau putusan sela yang dikeluarkan majelis arbitrase dapat berupa apa saja, tidak terbatas pada sita jaminan. Namun, Pasal 29 Perma 3/2023 hanya mengatur mengenai sita jaminan. UNCITRAL Model Law 2006 sebenarnya menyebutkan macam-macam putusan sela (interim measure) yang bisa diterapkan. Misalnya putusan sela yang menjamin jalannya proses arbitrase (anti-suit injunction) dan putusan sela terkait barang bukti. Dua macam itu seharusnya penting untuk proses arbitrase yang dijalankan dengan document-based.

Lebih lanjut, Pasal 29 Perma 3/2023 tersebut tidak menegaskan apakah penetapan penyitaan yang bisa didaftarkan tersebut termasuk yang dikeluarkan oleh majelis arbitrase internasional? Jika jawabannya ‘ya’ maka akan sesuai dengan rekomendasi Pasal 17 H UNCITRAL Model Law 2006 (Moses, 2012). Bisa juga dilihat isu terkait pelaksanaan putusan sela dan ketertiban umum di Astro All Asia Networks Plc v. PT Ayunda Prima Mitra (2009).

Terakhir, Perma 3/2023 tidak menghilangkan kemungkinan adanya perlawanan atau banding terhadap penetapan sita jaminan tersebut—sebagaimana umum terjadi praktik. Hal itu karena isinya menegaskan bahwa penyitaan akan mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Bandingkan dengan Pasal 44 United Kingdom Arbitration Act 1996. Isinya mengatur izin khusus (leave of the court) harus didapatkan sebelum penetapan putusan sela—yang telah dikeluarkan oleh pengadilan—dapat diajukan banding.

Akhirnya, secara keseluruhan Perma 3/2023 merupakan peraturan yang telah lama ditunggu dan harus disambut baik. Isinya banyak yang menjelaskan dan membuktikan arbitrase benar-benar memiliki keunggulan sesuai janji UU No. 30/1999. Sejauh ini hanya ada tiga catatan di atas untuk menjadi perhatian bagi akademisi dan praktisi arbitrase.

*) Togi Pangaribuan, S.H., LL.M, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia / Advokat.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait