Prof Bayu Dwi Anggono: Idealnya Pembaruan Penataan Perundang-undangan Dikelola Kementerian Khusus
Utama

Prof Bayu Dwi Anggono: Idealnya Pembaruan Penataan Perundang-undangan Dikelola Kementerian Khusus

Undang-undang sudah memberi tiga opsi solusi pendekatan kelembagaan: (i) melalui kementerian khusus; (ii) melalui Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK); dan (iii) melalui Lembaga Non-Struktural (LNS). Masing-masing opsi punya kekuatan dan kelemahan. Intinya lembaga itu harus langsung bertanggung jawab pada Presiden.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit

Ada empat isu besar untuk mengurai benang kusut tatanan peraturan perundang-undangan. Pertama, penataan jenis, hierarki dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan. Kedua, penataan kelembagaan pembentuk Peraturan Perundang-undangan. Ketiga, penataan prosedur dan teknik pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keempat, penataan substansi peraturan perundang-undangan. Ia menegaskan fokus pada poin kedua dalam pidatonya.

Telaah Bayu menghasilkan keyakinan bahwa perlu ada lembaga khusus untuk menata peraturan perundang-undangan. Tugasnya terpadu melakukan perencanaan, penyusunan, pengharmonisasian, pengundangan, penerjemahan, dan penyebaran informasi. Lembaga ini diharapkan berwenang melakukan evaluasi, melaksanakan pembinaan dan pengembangan personel di bidang pembentukan, bahkan mewakili pemerintah melalui litigasi dan nonlitigasi dalam hal muncul sengketa peraturan perundang-undangan. Gagasan ini berdasarkan telaahnya terhadap perkembangan undang-undang yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu UU No.12 Tahun 2011 jo. UU No.15 Tahun 2019 jo. UU No.13 Tahun 2022 jo. tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

“Ada permasalahan besar dalam proses pembentukan regulasi berdasarkan undang-undang. Dari perspektif kelembagaan, tidak ada satupun lembaga yang mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengelolaan regulasi secara nasional,” kata Bayu menegaskan. Kewenangan perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi tersebar pada kementerian/lembaga. Sementara itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai tangan Presiden hanya diberi kewenangan menangani sebagian proses pembentukan regulasi.

“Presiden hanya memiliki ruang terbatas saja dalam mengendalikan proses pembentukan peraturan perundang-undangan melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum,” kata Bayu melanjutkan.

Hasilnya, terjadi pertentangan norma, tumpang tindih kewenangan, dan tidak sinkron antar peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian materi muatan peraturan pelaksana dengan undang-undang acuannya dan ketidaksesuaian antar peraturan lembaga yang setara akhirnya memunculkan kebingungan bagaimana pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Tawaran Solusi Kelembagaan

Bayu juga melakukan studi perbandingan ke beberapa negara. Ia menilai pendekatan kelembagaan dalam menata peraturan perundang-undangan sudah berhasil diterapkan di beberapa negara. Bayu merujuk The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat, Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang, The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Australia, hingga Korea Selatan yang menugasi peran itu pada Menteri dalam kabinet dengan lembaga kementerian khusus bernama Ministry of Government Legislation (MoLeg).

Gagasan Bayu soal perlu lembaga khusus ini diakuinya berbeda dengan keyakinannya saat baru menuntaskan disertasi doktor. “Pada saat menyusun studi disertasi dalam studi doktoral, saya sendiri lebih dalam posisi yang berpendapat untuk tidak perlu dilakukan pembentukan suatu lembaga baru,” kata dia. Bayu saat itu berpandangan untuk mengoptimalkan peran lembaga yang telah ada yaitu Kementerian Hukum dan HAM. Kini, ia mengoreksi pandangannya sendiri setelah berbagai penelitian lanjutan. Tidak efektif jika membebani Kementerian Hukum dan HAM.

Tags:

Berita Terkait