RUU Cipta Kerja dan Korupsi Perizinan di Indonesia
Kolom

RUU Cipta Kerja dan Korupsi Perizinan di Indonesia

Harapannya agar pemerintah dan DPR tetap terbuka dalam mendengar berbagai masukan, karena banyak masalah substansi RUU Cipta Kerja ini yang perlu masukan dari berbagai pihak.

Bacaan 2 Menit

Menyangkut ketentuan ketenagakerjaan yang dianggap memberatkan pengusaha, paling tidak ada tiga poin yang diharapkan dapat diperbaiki. Pertama, ketentuan mengenai PHK yang bersifat sangat tertutup. Hal ini seringkali menyulitkan perusahaan dalam hal terjadinya pelanggaran ataupun dugaan tindak pidana oleh oknum karyawan. Kedua, masalah perhitungan pesangon yang dianggap lebih tinggi dibandingkan negara pesaing kita. Ketiga, proses penetapan upah minimum yang seringkali tidak predictable. Hal ini sering membuat perubahan signifikan terhadap rencana usaha dan investasi, yang akhirnya dapat mempengaruhi kelangsungan usaha.

Apa yang dianggap sebagai permasalahan peraturan ketenagakerjaan ini tentu saja hanya bisa diselesaikan dengan perubahan Undang-Undang No. 13 tahun 2003. Kiranya wajar suatu undang-undang yang sudah 17 tahun untuk ditinjau kembali. Apalagi terdapat suara yang kuat dari banyak pihak pada satu sisi stakeholder undang-undang tersebut. Tentu saja proses perubahan harus dilakukan melalui dialog yang cukup dengan seluruh stakeholder. Karena itu saya menyambut baik keputusan Presiden untuk menunda pembahasan klaster tenaga kerja dari RUU Cipta Kerja. Semoga dengan penundaan pembahasan ini, dapat dicapai solusi yang diterima oleh seluruh stakeholder.

Beberapa Permalahan RUU Cipta Kerja

Di samping beberapa perubahan struktural yang sejak lama ditunggu, paling tidak ada dua permasalahan yang cukup menggangu dalam RUU ini yang perlu saya angkat dalam kesempatan ini.

Pertama adalah pasal 170 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengubah ketentuan dalam RUU Cipta Kerja (ketika sudah menjadi UU) serta ketentuan undang-undang yang tidak diubah dalam RUU Cipta Kerja. Pasal ini bukan saja bermasalah dari segi ketatanegaraan namun juga logika secara umum.

Jika memang tujuan RUU Cipta Kerja adalah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk bisa mengubah undang-undang apapun, yang mirip dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk membentuk undang-undang tanpa DPR, kenapa harus repot membuat RUU Cipta kerja yang sangat kompleks itu? Lebih baik langsung buat satu RUU singkat yang berisi Pasal 170, kemudian buat omnibus law lewat instrumen peraturan pemerintah.

Masalah kedua adalah penghapusan prinsip strict liabilty atau prinsip tanggung jawab mutlak dari ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak ini mewajibkan setiap pihak yang menggunakan, mengelola, menghasilkan atau mengolah B3 atau yang menimbulkan ancaman serius pada lingkungan untuk mempertanggungjawabkan tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan.

Prinsip ini dianut oleh banyak sekali negara dan sayang sekali pada saat banyak bangsa lain semakin maju dalam upaya melindungi kehidupan generasi masa depan, kita malah mengambil langkah mundur dengan menurunkan standar kepatuhan pada peraturan menyangkut lingkungan hidup.  

Tags:

Berita Terkait