“Saya bisa katakan 99,9 persen wanita yang bercerai itu tidak pernah mendapatkan nafkah dari suaminya dan mereka (perempuan -red) juga tidak memperjuangkan itu,” ujar Nani.
Baca:
- Melihat Tren Perceraian dan Dominasi Penyebabnya
- Begini Status Hukum Anak Luar Perkawinan
- Perkawinan Retak, Hak Asuh Anak Diperebutkan
Kewajiban yang Terabaikan
Menurut Nani, ada rasa pesimisme di kaum wanita untuk menuntut nafkah kepada mantan suami. Meskipun pengadilan memutuskan mantan suami harus memberikan nafkah, maka siapa yang bisa memastikan si mantan suami itu akan memberi nafkah. Apalagi bila diketahui selama perkawinan, sebagian besar perempuan tidak diberikan nafkah oleh suaminya.
Nani mengatakan semua itu dilatari dari tidak tegasnya regulasi yang ada. Tidak ada enforcement yang menjamin mantan istri mendapatkan haknya walaupun sudah diputuskan oleh pengadilan. Hal ini mungkin berbeda jika mantan suami adalah pegawai negeri sipil (PNS), tapi kalau yang bersangkutan bekerja sebagai pegawai swasta hal itu terasa tidak mungkin.
“Saya pikir sekarang banyak juga perempuan yang tidak mempersoalkan itu karena bercerai saja bagi perempuan sudah bahagia bila pernikahannya memang membuat dirinya menderita,” katanya.
Nani melanjutkan, secara normatif adalah kewajiban mantan suami memberi nafkah kepada anak dan mantan istri meskipun telah ada putusan pengadilan. Akan tetapi hal itu sering terabaikan. Di PEKKA sendiri, kata Nani, hampir semua kepala keluarga perempuan memiliki pekerjaan atau penghasilan sendiri. Hal ini disebabkan perempuan sesungguhnya bisa merespons situasi.
“Bila tiba-tiba ia menjadi janda entah itu karena suaminya meninggal atau bercerai, dia otomatis mau melakukan strategi bertahan, apalagi bila dia punya anak. Makanya jangan heran kalau ada perempuan yang rela menjadi pekerja seks hanya untuk membiayai keluarganya,” ujar Nani.