Urgensitas Revisi KUHAP, Pembaruan Hukum Pidana Formil Indonesia Merupakan Kebutuhan
Terbaru

Urgensitas Revisi KUHAP, Pembaruan Hukum Pidana Formil Indonesia Merupakan Kebutuhan

Di tengah berbagai perkembangan kondisi sistem peradilan pidana di Indonesia dan telah disahkannya KUHP baru, terdapat berbagai catatan untuk revisi KUHAP. Salah satunya, melindungi hak asasi manusia para pihak.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit

Perihal legalitas materiil dinilai perlu untuk membuat pengaturan baru dalam draf RUU KUHAP. Kemudian dengan KUHP baru yang mengenal sistem pemidanaan double-track system (pidana dan tindakan) sehingga perlu mendapat perhatian dalam RUU KUHAP, demikian pula halnya dengan pedoman pemidanaan, pemaafan peradilan atau judicial pardon, alternatif pidana penjara berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, serta pidana mati dengan percobaan.

“Saya kira pembahasan di tingkat DPR pada tahun ini (belum dapat berlanjut), seperti kita ketahui tahun depan itu tahun politik, tentu ini merupakan kesempatan bagi kita semua untuk memberikan masukan mengenai draf yang tahun 2012. Sehingga ketika dilakukan pembahasannya kembali pada periode pemerintah dan DPR RI berikutnya, ini sudah mendapat masukan yang komprehensif dengan mempertimbangkan kebutuhan di Indonesia.”

Pada kesempatan yang sama, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Flora Dianti membagikan 3 rekomendasinya mengenai revisi KUHAP. “Kita harus kembali lagi kepada apa makna dari KUHAP itu dibuat? Begitu pula dengan revisi KUHAP. Waktu dulu zamannya rezim otoriter, sekarang kita anggap sudah ada nilai-nilai demokrasi dan keadilan di sini,” jelasnya.

Sehubung dengan itu, RUU KUHAP dipandang harus tetap kembali pada tujuan utama yaitu melindungi hak asasi manusia para pihak meliputi korban maupun tersangka dan terdakwa. Lalu penambahan institusi hakim pemeriksa pendahuluan (HPP), kejelasan batas waktu, kejelasan frase keadaan mendesak ke semuanya harus diperhatikan demi mencegah terjadinya pelanggaran HAM.

“Balik lagi ke asas legalitas yang sudah ditegaskan sejak awal. Kemudian kejelasan pembuktian itu mau mencari apa? Mau mencari kesalahan (terdakwa) atau mencari kebenaran? Kalau mencari kesalahan, ujung-ujungnya pelanggaran HAM. Perspektif itu harus diubah, perspektif kita adalah pembuktian mencari kebenaran. Yang salah dihukum, yang tidak bersalah dibebaskan,” ucap Flora.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Lovina sore itu menimpali bahwa alasan di balik pentingnya revisi KUHAP tidak terlepas dari diperlukannya pembaruan yang dapat beradaptasi dengan perkembangan saat ini. Sebut saja pengaturan hukum acara pidana Indonesia yang sejak merdeka mengacu pada HIR (Herziene Inlandsch Reglement) melalui UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil.

Akan tetapi hal tersebut menurutnya tidak ideal. Pasalnya, pengakuan terdakwa sebagai salah satu alat bukti berimplikasi pada maraknya terjadi penyiksaan oleh aparat agar memperoleh pengakuan bersalah dari terdakwa. Walaupun perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa sekaligus profesionalisme penegak hukum dimasukkan KUHAP 1981, baginya dengan kondisi sistem peradilan pidana terkini di Indonesia, KUHAP menjadi tidak relevan lagi dan membutuhkan pembaruan. 

Tags:

Berita Terkait