Usulkan Gratifikasi Seks Diatur, Dosen Pidana Ini Berikan Alasannya
Utama

Usulkan Gratifikasi Seks Diatur, Dosen Pidana Ini Berikan Alasannya

Penafsiran ekstensif dapat digunakan. Hakim berwenang membuat penafsiran hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Illustrasi: BAS
Illustrasi: BAS

Dalam seminar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia yang berlangsung di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok Senin (18/2), banyak muncul gagasan menarik yang perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Salah satunya, gagasan tentang perlunya pengaturan gratifikasi seks. Usul itu disampaikan secara terbuka oleh Mahmud Mulyadi, dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, ketika tampil sebagai pembicara dalam seminar itu.

 

Gagasan itu berangkat dari rahasia umum bahwa ada kasus korupsi yang ditangani dan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bersinggungan dengan layanan jasa seks yang diduga dilakukan terdakwa. Namun layanan seks itu tak diungkap lebih jauh di pengadilan karena fokus persidangan adalah pada pembuktian tuduhan korupsinya.

 

Mahmud Mulyadi mengakui bahwa dalam hukum positif Indonesia, gratifikasi seks masih multitafsir dan diperdebatkan apakah layak diproses atau tidak. Perdebatannya adalah mengkualifikasikan layanan seks dalam rumusan tindak pidana korupsi. “Masuk hadiahkah atau pemberian sesuatu,” ujar doktor ilmu hukum itu kepada hukumonline.

 

Penerimaan uang atau barang lain oleh terdakwa kasus korupsi pada dasarnya untuk memperoleh kenikmatan, sama seperti jasa layanan seks yang mungkin difasilitasi orang tertentu untuk mendapat keuntungan dari seorang penyelenggara negara. Inilah yang jadi persoalan, apakah layanan itu bisa dikualifikasi sebagai hadiah atau pemberian sesuatu.

 

Jawaban atas pertanyaan itu memang tidak mudah. Ada jalan berliku untuk menjerat pelaku baik menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun KUHP. KUHP pun lebih menitikberatkan pada kriminalisasi muncikari. Karena itu, kata Mahmud, salah satu  kemungkinannya adalah menggunakan tafsir ekstensif. “Kalau bisa memang ada tafsir ekstensif dalam penemuan hukum,” ujarnya.

 

(Baca juga: Jalan Berliku Menjerat Penerima Gratifikasi Seks)

 

Mahmud membandingkan dengan munculnya jenis-jenis baru narkotika dan zat terlarang. Di satu sisi, jenis baru itu tak masuk daftar yang disebutkan dalam Undang-Undang; tetapi di sisi lain aparat terus menemukan jenis baru yang mengandung zat serupa dengan narkotika. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum hanya bisa menggunakan penafsiran luas seraya menunggu revisi perundang-undangan.

 

Konsekuensi dari samar-samar pasal yang dapat dikenakan, hingga kini, aparat penegak hukum tak pernah mengungkap layanan seks yang diterima terdakwa dan memasukkannya sebagai bentuk gratifikasi. Dalam Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan ‘setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya’. Bagi ketentuan ini berlaku sistem pelaporan dalam rentang waktu 30 hari.

 

Hukumonline.com

(Mahmud Mulyadi (kiri) dalam seminar Mahupiki di FH UI Depok, Senin (18/2). Foto: MYS

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhiar Salmi termasuk yang berpandangan gratifikasi seks bisa dikenakan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor tadi. Seperti dimuat dalam berita sebelumnya, Akhiar mengatakan gratifikasi dapat diartikan secara luas. Meskipun demikian, ia mengakui proses pembuktiannya tak semudah membalik telapak tangan.

 

(Baca juga: Gratifikasi Seks Dapat Dijerat UU Tipikor)

 

Tafsir ekstensif adalah salah satu bentuk penafsiran dalam penemuan hukum. Artinya penafsiran yang memperluas makna. Sudikno Metrokusumo, dalam Mengenal Hukum Suatu Pengantar (1995) menjelaskan bahwa dalam penafsiran ekstensif dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal (de gramatikale of taalkundige interpretatie).

 

Contohnya adalah penafsiran kata ‘menjual’ dalam Pasal 1576 BW. Pasal ini menyebutkan ‘dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah diperjanjian pada waktu menyewakan barang’. Kata ‘menjual’ dalam pasal ini tidak hanya dimaknai sebagai jual beli, tetapi diperluas untuk setiap peralihan hak milik. Sejak tahun 1906, kata ’menjual’ dalam pasal itu ditafsirkan oleh Hooge Raad secara luas, yakni bukan semata-mata berarti jual beli, tetapi juga peralihan atau pengasingan.

 

Contoh lain adalah perluasan makna ‘saksi’ dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Saksi dalam pasal ini hanyalah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidana. Pada Agustus 2011, Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung memperluas makna saksi, meliputi pula orang yang mengetahui peristiwa pidana.

 

(Baca juga: Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan)

 

Mahmud berpendapat penggunaan tafsir ekstensif tidak dilarang. Dalam hukum pidana, yang dilarang adalah analogi. Lagipula, kata dia, di tengah ketidakjelasan peraturan perundang-undangan, hakim punya kewajiban untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara karena alasan tidak ada undang-undang yang mengatur pokok perkara yang akan diadili. Hakimlah yang berwenang menafsirkan. “Untuk lebih memperjelasnya, maka Rancangan KUHP harus mengatur itu,” ujar Mahmud Mulyadi.

Tags:

Berita Terkait