YLBHI/LBH Desak Pasal Anti Demokrasi RUU KUHP Dihapus
Terbaru

YLBHI/LBH Desak Pasal Anti Demokrasi RUU KUHP Dihapus

Seperti pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden; penghinaan terhadap pemerintahan/kekuasaan umum; ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dulu kepada pihak berwenang.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Organisasi masyarakat sipil semakin khawatir dengan upaya pemerintah untuk mendorong terbitnya RUU KUHP dalam waktu dekat. Masukan yang diberikan kalangan masyarakat sipil terhadap substansi RUU KUHP dianggap tidak dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR. Buktinya masih banyak pasal dalam RUU KUHP yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referendum, memberikan contoh antara lain Pasal 218-219 RUU KUHP yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Citra menilai sejak awal aliansi masyarakat sipil mendesak pasal tersebut untuk dihapus karena tidak sesuai dengan semangat dekolonialisasi yang diusung pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU KUHP.

Menurutnya, Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh dilihat sebagai individu, tapi sebagai jabatan politik dan pemerintahan. Kewajiban Presiden dan Wakil Presiden untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Namun, Pasal 218-219 RUU KUHP itu justru melarang masyarakat menyampaikan pendapat kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Baca Juga:

Tidak terpenuhinya hak untuk menyampaikan pendapat berdampak terhadap pemenuhan hak lainnya, seperti pekerjaan yang layak, lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta lainnya. “Karena masyarakat tidak bisa lagi aktif menyampaikan berbagai pendapatnya agar hak-haknya terpenuhi,” kata Citra Referendum dalam konferensi pers bertema “Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP”, Minggu (20/11/2022).

Begitu pula terhadap pasal yang mengatur tentang penghinaan kepada pemerintah atau kekuasaan umum, seperti lembaga negara. Citra mengingatkan komentar umum PBB menekankan pasal seperti itu tidak boleh karena mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ketentuan itu wajib dihapus karena lembaga pemerintahan merupakan tempat bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan.

“Kami merekomendasikan pasal-pasal tersebut dihapus agar memenuhi semangat dekolonialisasi,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait