Zakat dan Wakaf untuk Bantu Korban Covid-19, Mengapa Tidak?
Berita

Zakat dan Wakaf untuk Bantu Korban Covid-19, Mengapa Tidak?

Pemberian zakat dapat dilakukan berdasarkan prioritas. Mereka yang terkena PHK dan jatuh miskin di era pandemi dapat menjadi penerima zakat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi zakat untuk membantu warga miskin. Ilustrator: HGW
Ilustrasi zakat untuk membantu warga miskin. Ilustrator: HGW

Penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19) telah mengakibatkan banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, menutup usaha kecil, dan berpotensi jatuh miskin. Dampak penetapan Pembatalan Sosial Berkala Besar (PSBB) makin membuat pengusaha kecil terpuruk di sejumlah tempat. Akibat virus yang telah merenggut nyawa ratusan orang di Indonesia itu diperkirakan jumlah warga miskin akan bertambah signifikan.

 

Lantas, dapatkah zakat dan wakaf digunakan untuk membantu mereka yang menjadi korban Covid-19, misalnya karyawan yang terkena PHK dan jatuh miskin? Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat islam. Sedangkan wakaf adalah perbuatan hukum pewakaf untuk memisahkan atau menyerahkan harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum.

 

Bagi warga yang beragama Islam, zakat dapat dipergunakan untuk membantu warga miskin. Demikian pula wakaf, dapat dipergunakan untuk kegiatan yang produktif dan berguna untuk membantu penanganan pencegahan Covid-19. “Lembaga zakat harus berperan dalam era pandemi,” kata Ketua Umum Forum Zakat, Bambang Suherman.

 

“Wakaf merupakan instrumen penting untuk menyelesaikan berbagai persoalan negara,” sambung Iwan Agustiawan Fuad. Salah satu persoalan negara yang dapat dibantu lewat instrumen wakaf adalah ketika negara dalam keadaan darurat bencana nonalam seperti sekarang. “Potensi wakaf di Indonesia sangat besar,” kata anggota Badan Wakaf Indonesia itu. Diperkirakan mencapai Rp71,8 triliun per tahun.

 

Pentingnya peran wakaf dan zakat untuk membantu berbagai persoalan yang muncul saat pandemi corona terangkum dalam online seminar yang diselenggarakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu (18/4). Seminar daring bertema ‘Peran Lembaga Zakat dan Wakaf dalam Menopang  Perekonomian Ummat di Tengah Pandemi Covid-19 ini diselenggarakan untuk memperingati satu tahun wafatnya Guru Besar FHUI, Uswatun Hasanah.

 

(Baca juga: Layar Terkembang di Ladang Wakaf)

 

Semasa hidupnya, Uswatun Hasanah adalah dosen Fakultas Hukum yang banyak melakukan kajian terhadap wakaf. Ia meyakini bahwa wakaf produktif dapat dipergunakan untuk kesejahteraan sosial dalam perspektif hukum Islam. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan memberdayakan ekonomi. Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat tentang wakaf; seolah-olah wakaf itu hanya urusan masjid, madrasah, dan makam. Mengamini pandangan Uswatun, Bambang Suherman mengatakan bahwa wakaf bukan hanya semata masalah peribadatan, tetapi juga pengembangan kemandirian ekonomi ummat.

 

Faktor kedua adalah pengelolaan dan manajemen wakaf. Pengelolaan dan manajemen yang belum professional menyebabkan banyak harta wakaf terlantar, tidak digunakan untuk keperluan yang lebih produktif. Ketiga, masalah benda yang diwakafkan dan orang yang mengelola wakaf (nazhir). Di Indonesia, pada umumnya orang masih memandang harta wakaf hanya berupa tanah. Padahal, dalam fikih harta yang dapat diwakafkan sangat beragam misalnya surat berharga dan uang.

 

Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf –Uswatun salah satu anggota penyusun Rancangannya di Departemen Agama—sudah mengakomodasi gagasan tentang keanekaragaman benda wakaf. Selain benda tidak bergerak (misalnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan hak atas satuan rumah susun), ada benda bergerak yang dijadikan sebagai benda wakaf. Misalnya, uang, logam mulia, surat berharga, kiendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dan hak sewa. Dalam konteks pandemi seperti sekarang, salah satu benda wakaf yang sangat berguna adalah rumah sakit berbasis wakaf. Dilihat dari organisasi keamanan yang membangunan, sudah ada hampir 500 unit rumah sakit dan klinik.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini, berpendapat bahwa zakat merupakan salah satu komponen yang dapat menolong warga miskin semasa Covid-19. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan pasti berdampak pada warga, ditandai dengan munculnya warga fakir dan miskin baru. Misalnya, warga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut dia, ada kemungkinan akibat pandemi corona, suatu keluarga berubah menjadi mustahik (penerima zakat).

 

(Baca juga: Tarik Ulur Paradigma Baru Hukum Wakaf dari Ritual Menuju Komersial)

 

Dalam hukum Islam, ada delapan kategori penerima zakat yakni fakir (orang yang tidak memiliki harta), miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), amil (penerima zakat), muallaf (orang yang baru masuk Islam), riqab (hamba sahaya atau budak), gharim (orang yang memiliki banyak utang), fisabilillah (pejuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir). Pertanyaan hukum yang sering muncul adalah: siapa yang harus didahulukan dari kedelapan penerima zakat itu? Pada umumnya ulama menegaskan zakat wajib didistribusikan dan semua mustahik punya hak yang sama. Tetapi ada yang berpendapat zakat dapat diberikan kepada satu golongan saja, tergantung mana yang paling membutuhkan.

 

Bagaimana dengan hukum di Indonesia? Farida menunjuk ketentuan Pasal 25-26 UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 25 menegaskan zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Selanjutnya, Pasal 26 menyatakan pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. “Berdasarkan UU ini boleh mendistribusikan zakat kepada satu atau beberapa golongan saja dan memperhatikan skala prioritas,” pungkasnya.

 

Dalam konteks ini pula terbuka ruang memberikan zakat kepada mereka yang akhirnya jatuh miskin akibat terkena dampak pencegahan Covid-19. Sementara benda yang diwakafkan dapat dimanfaatkan untuk membantu pengobatan pasien, menyediakan alat pelindung diri, bahkan menyediakan kebutuhan pangan warga miskin.

 

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hukum Islam di FH UI, 22 April 2009, Uswatun Hasanah menegaskan secara normatif, nyaris tidak ada hambatan dari peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan wakaf produktif. Tinggal bagaimana komitmen bersama para pengelola dan pihak lain yang berkepentingan. Kalimat dalam pidatonya seakan relevan dengan kondisi pandemi sekarang: “Wakaf uang penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian kian memburuk”.

 

Simak Informasi Penting Covid-19 Lainnya:

 

Tags:

Berita Terkait