Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Jika Dituduh Membantu Melakukan Kejahatan yang dibuat oleh Ayu Eza Tiara, S.H.I. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 14 September 2018.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Membantu Melakukan Kejahatan
Ketentuan pasal mengenai dugaan tindak pidana “membantu tindak pidana” telah ditegaskan dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR(“RKUHP”) yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2025 yaitu:
Pasal 56 KUHP | Pasal 21 RKUHP |
Dipidana sebagai pembantu kejahatan: - Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
- Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
| (1) Setiap orang dipidana sebagai pembantu tindak pidana jika dengan sengaja: a. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana; atau b. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta.[2] (3) Pidana untuk pembantuan melakukan tindak pidana paling banyak dua per tiga dari maksimum ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan. (4) Pembantuan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. (5) Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan tindak pidana sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidana yang bersangkutan |
Selanjutnya R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 75-76) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai penggunaan Pasal 56 KUHP tersebut, bahwa orang dapat dikatakan telah “membantu melakukan” tindak pidana apabila ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan.
Dari penjelasan R. Soesilo tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan mengenai keharusan adanya unsur kesengajaan, sehingga jika seseorang yang tidak mengetahui bahwa perbuatannya telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu, ia tidak dapat dihukum.
Jika Anda dituduh telah membantu melakukan tindak pidana seperti yang dimaksud Pasal 56 KUHP, maka harus ada pembuktian mengenai adanya unsur “sengaja” pada tindakan Anda untuk membantu melakukan tindak pidana tersebut. Yang mana berdasarkan keterangan Anda, Anda tidak mengetahui bahwa emas yang Anda lebur berasal dari hasil curian, maka sepatutnya Anda tidak dapat dikatakan telah membantu tindak pidana.
Penetapan Status Tersangka
Terkait dengan wajib lapor, hal tersebut merupakan syarat dari penangguhan penahanan yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan minimal dua alat bukti.[3]
Adapun, mengenai penetapan status tersangka, hal tersebut adalah kewenangan dari penyidik kepolisian. Polisi harus mendasarkan pada bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Sesuai dengan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocent), dengan penetapan tersangka terhadap seseorang tidak berarti orang tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk memutuskan seseorang bersalah melakukan tindak pidana.
Definisi tersangka dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, yaitu:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Seperti kita ketahui bersama, KUHAP sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “bukti permulaan”, khususnya definisi “bukti permulaan” yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka.
Namun kemudian, Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP (hal. 109).
Baca juga: Arti “Bukti Permulaan yang Cukup” dalam Hukum Acara Pidana.
Dengan demikian, penetapan tersangka harus dilakukan dengan minimal dua alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Hal serupa juga diatur dalam Pasal 1 angka 9 Perkapolri 6/2019 yang menjelaskan tentang yang dimaksud dengan tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan dua alat bukti yang sah didukung barang bukti patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Jika Tidak Cukup Bukti untuk Melanjutkan Perkara
Apabila nantinya pihak kepolisian tidak memiliki cukup bukti untuk melanjutkan perkara, maka pihak kepolisian dapat melakukan penghentian penyidikan terhadap kasus Anda.[4] Penghentian penyidikan dilakukan melalui gelar perkara.[5]
Mengingat Anda tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai penetapan tersangka yang Anda terima, kami tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Namun demikian, perlu kami informasikan bahwa pasca Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang salah satunya menguji Pasal 77 huruf a KUHAP tentang praperadilan, setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka dapat menguji penetapan tersebut melalui mekanisme praperadilan (hal. 110).
Praperadilan penetapan tersangka adalah upaya hukum yang dapat ditempuh untuk menguji secara formil apakah kepolisian telah melaksanakan prosedur yang tepat dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang.
Baca juga: Mengenal Beda Sidang Praperadilan dengan Sidang Pokok Perkara
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR;
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Referensi:
Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996.
[1] Pasal 624 RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR
[2] Pasal 21 ayat (2) jo. Pasal 79 ayat (2) RKUHP
[3] Pasal 31 ayat (1) dan penjelasannya serta Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 PUU-XII/2014
[4] Pasal 109 ayat (2) KUHAP
[5] Pasal 30 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019