KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perkembangan Asas Legalitas dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Perkembangan Asas Legalitas dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Perkembangan Asas Legalitas dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Theodora, S.H., M.H.ILUMNI FH UNPAR
ILUMNI FH UNPAR
Bacaan 10 Menit
Perkembangan Asas Legalitas dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

PERTANYAAN

Bagaimana perkembangan asas legalitas dalam KUHP lama (peninggalan Belanda) dan KUHP nasional/ KUHP baru?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Setelah diundangkannya UU 1/2023 tentang KUHP baru, terdapat perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana, dibanding dengan KUHP lama. Asas legalitas dalam KUHP lama diatur di dalam Pasal 1 berkaitan dengan asas lex temporis delicti yaitu undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi. Selain itu, pasal tersebut juga memuat mengenai larangan analogi.

    Lalu, bagaimana pengaturan asas legalitas dalam UU 1/2023? Apa saja perbedaannya dengan KUHP lama?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Asas Nasionalitas Aktif dan Asas Personalitas dalam Hukum Pidana

    Asas Nasionalitas Aktif dan Asas Personalitas dalam Hukum Pidana

    Asas Legalitas dalam KUHP Lama

    Menurut Moeljatno asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada peraturan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu.[1]

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat 3 makna asas legalitas yaitu:[2]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang;
    2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi;
    3. Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

    Dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, asas legalitas dalam hukum pidana diatur di dalam Pasal 1 yang berbunyi:

    (1) Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.

    (2) Jika terjadi perubahan di dalam perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan, maka dikenakanlah terhadap si tersangka ketentuan yang paling menguntungkan baginya.

    Dalam KUHP yang lama, tidak ada penjelasan terkait Pasal 1 ayat (1) KUHP. Mengutip H.R. 12 Nop.1900, W.7525; 21 Jan.1929 N.J 1929 709. W.11963, menyatakan bahwa penafsiran terhadap ketentuan yang telah dinyatakan dengan tegas, tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang.[3]

    Rumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berkaitan dengan asas lex temporis delicti yaitu undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi.[4] Asas ini juga disebut asas non retroaktif yang artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut.

    Rousseau dalam Du Contract Social menjelaskan bahwa asas hukum kenegaraan tahun 1761 memberikan sumbangan terhadap diterimanya peraturan nulla poena. Menurut Rousseau, hukum seluruhnya bersandar pada suatu perjanjian masyarakat yang menyatakan kehendak umum. Tingkah laku yang menurut kehendak umum harus dipidana, seharusnya diuraikan dari semula dalam undang-undang, karena dalam perjanjian masyarakat setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya. Jadi menurut Rousseau, uraian yang tajam dari setiap tindak pidana merupakan satu keharusan.[5]

    Menurut AnselmVon Feuerbach (sarjana hukum Jerman) merumuskan asas legalitas ke dalam 3 hal, yaitu:[6]

    1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana atau dengan kata lain tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana (nulla poena sine lege);
    2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang atau dengan kata lain tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang (nulla poena sine crimine);
    3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan atau dengan kata lain tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang (nullum crimen sine poena legali).

    Pasal 1 ayat (1) KUHP ini juga memuat larangan menggunakan penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana untuk menjamin kepastian hukum.[7]

    Asas Legalitas dalam UU 1/2023

    Asas legalitas dalam hukum pidana menurut KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[8] yaitu tahun 2026, dapat ditemukan di dalam Pasal 1 yang berbunyi:

    (1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

    (2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.

    Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 diterangkan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah undang-undang dan peraturan daerah. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

    Adapun terkait dengan Pasal 1 ayat (2) UU 1/2023 yang dimaksud dengan "analogi' adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang dan peraturan daerah dengan cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah.

    Tafsir Pasal 1 UU 1/2023 tersebut merupakan asas penting dalam hukum pidana yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, asas non rektroaktif (tidak berlaku surut), dan larangan penggunaan penafsiran analogi.

    Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.[9]Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan.

    a. Mengakomodir hukum yang hidup di masyarakat

    Berbeda dari KUHP yang lama, dalam UU 1/2023 atau KUHP baru mengatur mengenai ketentuan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut.

    Dalam lapangan hukum pidana, hukum yang hidup di masyarakat biasanya disebut dengan hukum pidana adat. Untuk mengakomodir hukum pidana adat tersebut, maka dalam KUHP baru diatur secara tegas dalam Pasal 2 UU 1/2023.

    Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UU 1/2023 merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya hukum pidana adat tersebut bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

    Adapun bunyi Pasal 2 UU 1/2023 adalah sebagai berikut.

    (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

    (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

    (3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Penjelasan Pasal 2 UU 1/2023 menerangkan bahwa “hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peraturan daerah mengatur mengenai tindak pidana adat tersebut.

    Lebih lanjut, maksud “berlaku dalam tempat itu hidup” dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023 adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh UU 1/2023.[10]

    Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023 merupakan pedoman atau kriteria dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat). Ayat ini, berorientasi pada nilai nasional dan internasional. Bahwa “hukum yang hidup dalam masyarakat” ini diberlakukan secara limitatif, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

    b. Pengecualian asas non retroaktif

    Senada dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP lama, ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU 1/2023 memungkinkan pemberlakuan hukum pidana secara surut (retroaktif) sepanjang peraturan tersebut menguntungkan pelaku. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut.

    Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.

    Dalam Pasal 3 UU 1/2023 menetapkan bahwa hukum pidana dapat berlaku surut apabila:

    • Ada perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi dan perubahan tersebut menguntungkan pelaku tindak pidana;
    • Perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru;
    • Jika setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan peruundang-undangan yang baru.

    Perkembangan Asas Legalitas dalam KUHP Baru

    1. UU 1/2023 menegaskan (mengatur secara eksplisit) larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan tindak pidana;
    2. Dalam UU 1/2023, diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai hukum pidana adat;
    3. Dalam UU 1/2023 terkandung 2 asas legalitas yaitu asas legalitas formal dan asas legalitas materiel. Pada asas legalitas formal, dasar patut dipidananya suatu perbuatan adalah undang-undang (hukum tertulis) yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Sedangkan pada asas legalitas materiel menentukan dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Referensi:

    1. Lidya Suryani Widayati. Perluasan Asas Legalitas dalam RUU KUHP. Negara Hukum: Vol. 2, No. 2, November 2011;
    2. J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana: Hukum Penitentier. Bandung: Binacipta, 1987;
    3. Nyoman Serikat Putra Jaya. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008;
    4. A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990;
    5. RB Budi Prastowo. Asas Nonretroaktivitas dalam Perubahan Perundang-undangan Pidana. Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24 No. 2.

    [1] Lidya Suryani Widayati. Perluasan Asas Legalitas dalam RUU KUHP. Negara Hukum: Vol. 2, No. 2, November 2011, hal. 307

    [2] Lidya Suryani Widayati. Perluasan Asas Legalitas dalam RUU KUHP. Negara Hukum: Vol. 2, No. 2, November 2011, hal. 307

    [3] P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990, hal. 1

    [4] RB Budi Prastowo. Asas Nonretroaktivitas dalam Perubahan Perundang-undangan Pidana. Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24 No. 2, hal. 172

    [5] Mr. J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana: Hukum Penitentier. Bandung: Binacipta, 1987, hal.50.

    [6] Nyoman Serikat Putra Jaya. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal.13

    [7] P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990, hal. 4

    [8] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [9] Lidya Suryani Widayati. Perluasan Asas Legalitas dalam RUU KUHP. Negara Hukum: Vol. 2, No. 2, November 2011, hal. 312

    [10] Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023

    Tags

    asas legalitas
    hukum pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Cicil Rumah dengan KPR Agar Terhindar Risiko Hukum

    2 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!