Intisari:
Kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan anak hasil Married by Accident (“MBA”) adalah anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan. Yang mana kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya. a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Anak yang sah memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya. Sehingga teman Anda yang merupakan anak yang lahir dari hubungan MBA masih memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya. Mengenai wali nikah, Pasal 20 ayat (2) KHI mengatur bahwa wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Berdasarkan klasifikasi wali nasab sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KHI, karena teman Anda lahir dalam perkawinan yang sah dan memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya, maka yang utamanya dapat menjadi wali nikah adalah ayah teman Anda, karena ayah terletak dalam kelompok kekerabatan pertama (kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya). Apakah bisa kakak laki-laki yang seibu dengan teman Anda menjadi wali nikah? Oleh karena wali nikah harus mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan, maka kakak laki-laki seibu tidak dapat menjadi wali nikah karena tidak termasuk ke dalam wali nasab. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Anda menanyakan siapa yang berhak menjadi wali nikah apabila teman Anda adalah anak hasil dari Married by Accident (MBA).
Kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan anak hasil
Married by Accident adalah sebagaimana dijelaskan dalam artikel
Status Hukum Anak Married by Accident, yaitu anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan. Yang mana kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya.
Kedudukan Anak Hasil Married by Accident
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
[1] Selain itu, setiap perkawinan juga harus dicatatkan.
[2] Sebagaimana dikutip dalam artikel
Banyak Sebab Perkawinan Tidak Dicatat, jika perkawinan tidak tercatat, perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum di mata Negara.
Sementara dilihat dari Hukum Islam, berdasarkan Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) anak yang sah adalah:
anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Dalam hukum Islam juga ada yang dinamakan dengan kawin hamil. Mengenai kawin hamil dijelaskan dalam Pasal 53 KHI, yaitu seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam hal ini, baik hukum positif maupun hukum Islam sama-sama menganggap selama anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan sah kedua orangtuanya, anak tersebut adalah anak yang sah dari keduanya. Lalu bagaimana dengan teman Anda?
Jadi, apabila Married by Accident yang Anda maksud adalah teman Anda merupakan anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan namun kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya, maka ia memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.
Wali Nikah Sebagai Salah Satu Rukun Perkawinan
Perkawinan dalam Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam yakni harus ada:
[3]Calon suami;
Calon istri;
Wali nikah;
Dua orang saksi; dan
Ijab dan qabul.
Mengenai wali nikah, dalam perkawinan, adanya wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.
[4] Yang bertindak sebagai wali nikah haruslah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
[5]
Macam-Macam Wali Nikah dan Urutannya
Wali nikah terdiri dari:
[6]wali nasab (kerabat); dan
wali hakim.
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Adapun kelompok-kelompok wali nikah:
[7]Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
[8] Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak wali bergeser ke wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
[9]
Sementara, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adlal atau enggan.
[10] Adapun yang dimaksud dengan wali hakim menurut Pasal 1 angka 2 Permenag 30/2005 adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Yang Berhak Menjadi Wali Nikah
Karena teman Anda lahir dalam perkawinan yang sah dan memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya, maka yang utamanya dapat menjadi wali nikah adalah ayah teman Anda, karena dalam kelompok kekerabatan pertama sebagaimana dijelaskan di atas ayah teman Anda yang memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan teman Anda.
Kemudian dalam pertanyaan Anda yang menanyakan apakah bisa kakak laki-laki yang seibu dengan teman Anda menjadi wali nikah. Perlu dipahami kembali di sini pengertian dari wali nasab, menurut Sayuti Thalib, dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 65):
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan itu.
Hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan ini juga telah ditegaskan dalam definisi wali nasab dalam Pasal 1 angka 1 Permenag 30/2005, yaitu pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam.
Oleh karena wali nikah harus mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan, maka kakak laki-laki seibu tidak dapat menjadi wali nikah karena tidak termasuk ke dalam wali nasab, sejalan dengan hal itu, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KHI dapat dilihat bahwa yang termasuk ke dalam wali nasab dalam kelompok kekerabatan kedua adalah hanya saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau saudara laki-laki seayah, tidak ada saudara laki-laki seibu.
Perlu diingat apabila masih ada pihak dalam kelompok kekerabatan pertama, yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya, dan pihak-pihak tersebut tidak menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka kelompok kekerabatan kedua tidak dapat menjadi wali nikah.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
[1] Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
[2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
[5] Pasal 20 ayat (1) KHI
[6] Pasal 20 ayat (2) KHI
[7] Pasal 21 ayat (1) KHI
[8] Pasal 21 ayat (2) KHI
[10] Pasal 23 ayat (1) KHI