Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Anak Pasca Perceraian
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa mantan suami berkewajiban menafkahi anak dan bekas istrinya pasca perceraian, maka hal tersebut wajib dilaksanakan oleh suami.
Namun mantan suami rekan Anda tidak memberikan keterangan yang sesuai atas kisaran penghasilan yang diperoleh saat di persidangan, sehingga mempengaruhi besaran nafkah yang diwajibkan hakim kepada mantan suami rekan Anda. Dalam Undang-undang sudah jelas mengatur mengenai pihak ayah yang menjadi penanggung jawab utama,
[1] tetapi tidak dapat dipungkiri memang bahwa UU Perkawinan di Indonesia yang merupakan hukum positif untuk perkawinan dan perceraian, tidak menyebutkan secara detail mengenai seberapa besar biaya tunjangan anak yang harus diberikan oleh ayah.
Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya;
Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya;
Sementara itu untuk Non-PNS tidak ada peraturan yang mengatur besaran nafkah yang diperoleh anak dan bekas istri. Berdasarkan jumlah penghasilan pihak suami saat proses perceraian di pengadilan, istri dapat mengajukan bukti berupa slip gaji atau dokumen lain yang dapat menunjukkan besarnya penghasilan mantan suami.
Jika Suami Memberikan Keterangan Palsu terhadap Penghasilannya di Persidangan
Apabila memang benar bahwa kisaran penghasilan mantan suami rekan Anda tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan di persidangan, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan pidana perihal memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yakni:
Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Mengenai hal tersebut, rekan Anda dapat menuntut mantan suami rekan Anda karena telah memberikan keterangan palsu, sehingga putusan pengadilan mengakibatkan besaran tunjangan tidak sesuai dengan penghasilan mantan suami. Dikarenakan dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
keterangan ahli;
surat;
petunjuk; dan
keterangan terdakwa.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam arikel
Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?, Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya
Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19) berpendapat bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut
stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehingga rekan Anda perlu menunjukkan minimal dua alat bukti yang sah yang menunjukan besaran penghasilan mantan suami rekan Anda yang sebenarnya agar dapat dikenakan pidana atas tindakan memberikan keterangan palsu.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 41 huruf b UU Perkawinan