Peringati Hari Tani Nasional, Koalisi Beberkan Beragam Persoalan Agraria
Terbaru

Peringati Hari Tani Nasional, Koalisi Beberkan Beragam Persoalan Agraria

Mulai dari penyelesaian konflik agrarian, korupsi, perampasan lahan dengan dalih PSN, dan kerusakan lingkungan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Terbitnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada 24 September 1960 diperingati sebagai hari Tani Nasional. Hal tersebut telah diatur dalam Keputusan Presiden No.169 Tahun 1963 tentang Hari Tani. Memperingati Hari Tani Nasional 2022, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), membeberkan beragam catatan terkait persoalan di bidang agraria yang selama ini dihadapi rakyat, termasuk yang berprofesi sebagai petani.

Perwakilan KNPA dari Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, mengatakan setelah terbit sejak 62 tahun silam mandat UU No.5 Tahun 1960 tidak pernah dijalankan pemerintah dan DPR secara serius. Bahkan cenderung diselewengkan dengan menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip beleid yang ditandatangani Presiden pertama RI Soekarno itu.

“Pengingkaran tersebut telah menghasilkan ketimpangan struktur agraria, konflik agraria, kemiskinan struktural dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan,” kata Wahyu ketika dikonfirmasi, Rabu (28/9/2022).

Baca Juga:

Mengacu catatan Koalisi, Wahyu menyebut ketimpangan penguasaan agraria menunjukkan satu persen (1%) golongan pengusaha menguasai 68% tanah/aset tanah. Puluhan juta hektar tanah yang dikuasai segelintir elit tersebut berupa konsesi perkebunan sawit, tambang dan bisnis kehutanan yang bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan. Sementara ada sekitar 16 juta rumah tangga petani berada dalam situasi gurem dan landless (tak bertanah).

Kondisi itu menurut Wahyu juga terjadi di wilayah perkotaan, dimana cadangan aset tanah dan penguasaan tanah oleh pemodal melahirkan ketimpangan agraria dan kemiskinan struktural yang akut. Masyarakat miskin perkotaan hanya dapat hidup di ruang-ruang sisa dan tidak layak huni, seperti tepi sungai, kolong jembatan, dan lainnya. Atau menjadi korban penggusuran.

“Tumpang-tindih dan akumulasi aset kekayaan para pemodal bersama elit politik berdiri di atas perampasan tanah-tanah rakyat dan penghancuran lingkungan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait