Strategi Pemerintah untuk Implementasi UU TPKS
Terbaru

Strategi Pemerintah untuk Implementasi UU TPKS

Ada kelemahan seperti jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam Pasal 4 ayat (2) tidak diatur definisi yang berimplikasi terhadap substansi yang semestinya masuk, malah berada di luar UU TPKS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam webinar bertajuk 'Strategis Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual', Rabu (27/4/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam webinar bertajuk 'Strategis Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual', Rabu (27/4/2022). Foto: RFQ

Setelah persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi UU, kerja pemerintah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan memerlukan cara agar implementasi di masyarakat dapat berjalan efektif. Khususnya bagi aparat penegak hukum sebagai garda terdepan dalam penanganan perkara TPKS.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Perempuan Kementrian PPPA, Ali Khasan mengatakan terdapat aturan turunan yang harus diterbitkan pemerintah. Ada 5 Peraturan Presiden (Perpres) dan 5 Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan yang lebih teknis untuk memperkuat implementasi UU TPKS.

“Ada tiga hal penting mengenai strategi yang dibahas,” ujar Ali Khasan dalam keterangannya dalam webinar bertajuk “Strategis Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Rabu (27/4/2022) kemarin.

Pertama, terkait implementasi di tataran kebijakan dan koordinasi lintas kelembagaan. Ali berpandangan banyak kasus TPKS merupakan praktik yang bersifat cross-cut dan berlapis. Karenanya terdapat sejumlah pekerjaan penting secara bersama-sama. Seperti mengurangi kesenjangan antara kasus yang sebenarnya terjadi dan kasus yang terlaporkan.

Baca:

Kedua, melakukan reformasi manajerial dalam penanganan kasus. Ketiga, membentuk dan mengkonsolidasikan jaringan atau elemen kemasyarakatan dan institusional dalam mencegah kekerasan seksual. Ali menilai pemerintah pusat dan daerah berkewajiban menyelenggarakan pencegahan TPKS secara cepat dan terpadu.

Karenanya, pendekatan daerah seperti menekankan peran institusi pendidikan dalam menyajikan edukasi. Lebih lanjut, Ali berpendapat berbagai penanganan kasus penting sebagai bagian dalam mempertimbangkan konteks kasus. Dia menuturkan pemerintah daerah wajib untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sebagai bentuk keseriusan dalam menjamin keamanan masyarakat dari kekerasan seksual.

Kementerian tempatnya bernaung pun telah membuka Call center “Sahabat Perempuan dan Anak” (SAPA) melalui 129. Menurutnya, Kementerian PPPA telah menggandeng Kemendagri untuk berkordinasi dengan daerah. Serta membentuk UPTD PPA di daerah dengan optimalisasi jaringan pentahelix antara pemerintah, bisnis, media, akademisi dan masyarakat.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Siti Aminah Tardi mengingatkan soal kepastian administratif UU TPKS dan sejumlah substansi UU TPKS yang perlu dimaksimalkan penerapannya. Selain itu, perlu memastikan penguatan UU TPKS selain sejumlah pasal yang mengatur jenis TPKS dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Karenanya, penting menyusun langkah-langkah advokasi serta memastikan beberapa kelemahan dalam UU TPKS untuk dapat diatur secara kuat dengan memperhatikan beberapa kebijakan yang mengatur unsur-unsur kekerasan seksual melalui aturan turunan. Baginya, persoalan administratif dan substantif perlu diimbangi dengan kerja pengawasan.

“Komnas Perempuan berperan dalam memastikan tujuan pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual yang dimandatkan dalam undang-undang dijalankan oleh negara, dan memastikan bahwa pemerintah sebagai pelaksana UU TPKS tidak terbebani oleh fungsi pemantauan dan pengawasan,” katanya.

Sementara Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum (FH) Univesitas Indonesia (UI) Prof Sulistyowati Irianto berpandangan kejahatan inti dari UU TPKS tertuang dalam Pasal 4 ayat (2). Seperti kejahatan pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.

Sayangnya semua jenis TPKS dalam Pasal 4 ayat (2) hanya disebut sebagai “kekerasan seksual”, tidak diatur dan didefinisikan secara terang. Menurutnya, ketiadaan pengaturan definisi berimplikasi terhadap substansi yang semestinya masuk, malah berada (diatur) di luar UU TPKS. “Hal ini berisiko membuka bentuk manajerial dan implementasi yang tidak begitu akurat dengan nafas UU TPKS,” katanya.

Tags:

Berita Terkait