‘Grey Area’ Penanganan TPPU (Bagian 1)
Fokus

‘Grey Area’ Penanganan TPPU (Bagian 1)

Masih ada kekosongan hukum.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Sidang kasus simulator SIM dengan terdakwa eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo. Foto: SGP
Sidang kasus simulator SIM dengan terdakwa eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo. Foto: SGP
Korupsi masih menduduki peringkat teratas sebagai tindak pidana asal dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). PPATK mencatat, dari 2.415 hasil analisis (HA) yang disampaikan kepada penyidik sepanjang Januari 2003-November 2013, 1.128 diantaranya merupakan HA TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Kepala PPATK M Yusuf mengkategorikan TPPU sebagai tindak pidana berbahaya yang menggerogoti sendi-sendi perekenomian negara. Dengan TPPU, si pelaku dapat menikmati uang hasil korupsi. Pelaku bahkan menggunakan berbagai cara untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang bersumber dari korupsi.

Namun, sebelum 2010, tidak banyak kasus TPPU yang ditangani aparat penegak hukum. Satu kasus fenomenal yang menjadi tonggak sejarah keberhasilan penanganan kasus TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi adalah Bahasyim Assifie, pejabat Ditjen Pajak. Perjalanan kasus ini memakan waktu satu tahun hingga putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).

MA mengukuhkan putusan Bahasyim dengan menjatuhkan pidana penjara 12 tahun dan merampas aset-aset Bahasyim. Meski Bahasyim bukan kasus yang ditangani KPK, kasus ini menjadi bukti bahwa penuntut umum tidak perlu membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal yang disangkakan terhadap terdakwa.  

Selain masalah pembuktian tindak pidana asal, masih ada sekelumit masalah yang dihadapi aparat penegak hukum, khususnya KPK. Hal ini dikarenakan kewenangan KPK berada di wilayah abu-abu (grey area). UU TPPU memberikan kewenangan penyidikan kepada KPK, tapi tidak mengatur secara jelas kewenangan KPK untuk menuntut TPPU.

Untuk pertama kalinya, KPK menjerat M Nazaruddin dalam kasus TPPU saham Garuda pada  Februari 2012. KPK mulai sering menggunakan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU untuk menjerat tersangka korupsi. Mereka antara lain Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini, M Akil Mochtar, dan Tubagus Chaeri Wardhana.

KPK sudah melakukan sejumlah terobosan untuk memberikan efek jera dan terapi kejut. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sempat menyatakan, penerapan UU TPPU merupakan cara efektif untuk membuka peluang lebih besar terhadap pengembalian keuangan negara. Hampir semua kasus yang ditangani KPK menggunakan UU TPPU.

“KPK juga menggunakan pasal-pasal hukuman tambahan lainnya, seperti pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi, pencabutan hak politik dan sebagainya. Dalam setiap kasus yang ditangani, kami selalu berupaya keras menuntut para tersangka dengan tuntutan pidana yang tinggi,” katanya.

Penggabungan kasus korupsi dengan TPPU dinilai KPK memberikan keuntungan tersendiri dalam penanganan perkara korupsi. Pertama, lebih banyak aktor yang terjerat, termasuk korporasi. Kedua, hukuman lebih maksimal. Ketiga, mengefektifkan pengembalian aset negara. Dan keempat, bisa memiskinkan koruptor.

Sepanjang 2013, KPK melakukan 81 kegiatan penyelidikan, 70 penyidikan, dan 41 penuntutan korupsi. KPK juga melakukan eksekusi atas 40 kasus korupsi yang telah inkracht. Terdapat peningkatan rasio penanganan perkara di tahun 2013. Dari 70 kasus korupsi yang ditangani KPK, tujuh diantaranya digabungkan dengan TPPU.

Tabulasi Penanganan Korupsi oleh KPK
(2004-2013)
Jenis Perkara2004200520062007200820092010201120122013
Pengadaan Barang/Jasa 2 12 8 14 18 16 16 10 8 9
Perizinan 0 0 5 1 3 1 0 0 0 2
Penyuapan 0 7 2 4 13 12 19 25 34 50
Pungutan 0 0 7 2 3 0 0 0 0 1
Pengalahgunaan Anggaran 0 0 5 3 10 8 5 4 3 0
TPPU 0 0 0 0 0 0 0 0 2 7
Merintangi proses KPK 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Sumber: Data KPK per Desember 2013

KPK mencatat sebagian besar pelaku korupsi berprofesi sebagai swasta, anggota DPR/DPRD, pejabat Kementerian/Lembaga, dan aparat penegak hukum. Menurut Bambang, KPK telah berhasil mengembalikan keuangan negara sebesar Rp1,178 triliun. Pencapaian tersebut dinilai cukup maksimal di tengah terbatasnya jumlah penyidik KPK.

Akan tetapi, bukan hanya keterbatasan jumlah penyidik yang menjadi permasalahan KPK. KPK merasa tidak diuntungkan dengan aturan pembalikan beban pembuktian di persidangan. Jika pembalikan beban pembuktian hanya dilakukan di persidangan, KPK tidak memiliki waktu cukup waktu untuk memvalidasi bukti-bukti terdakwa.

Permasalahan selanjutnya muncul saat perkara TPPU dibawa ke persidangan. Penuntut umum KPK acap kali beradu argumentasi dengan penasihat hukum mengenai perlu tidaknya membuktikan tindak pidana asal. Selan itu, penasihat hukum sering memanfaatkan ketiadaan aturan mengenai kewenangan jaksa KPK menuntut TPPU.

Beruntung para hakim sudah menyamakan persepsi mengenai perlu tidaknya membuktikan tindak pidana asal dalam penanganan TPPU. Usai menggelar pertemuan pertengahan 2013 lalu, Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar menyampaikan, para hakim agung sepakat dalam penanganan TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya.

Kekosongan Hukum
Kesepakatan itu mengakhiri perdebatan panjang mengenai perlu tidaknya tindak pidana asal dibuktikan terlebih dahulu dalam penanganan TPPU. Namun, tidak berarti mengakhiri perdebatan mengenai kewenangan jaksa KPK menuntut TPPU. Faktanya, sejumlah hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tidak satu suara mengenai hal ini.

Dalam putusan Luthfi Hasan Ishaaq misalnya. Dua hakim ad hoc I Made Hendra dan Joko Subagyo menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) karena menganggap jaksa KPK tidak berwenang menuntut TPPU. Tidak ada satupun ketentuan dalam UU TPPU yang menyebutkan kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU.

Sebagaimana ketentuan UU No 8 Tahun 2010, pemblokiran dan penuntutan TPPU menjadi kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK. Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU, bukan berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU.

Kedua hakim ad hoc tersebut menilai, jaksa KPK harus melimpahkan perkara TPPU kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri. KPK tidak boleh menginterpretasikan sendiri kewenangannya jika tidak diatur dalam UU TPPU. Kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU harus diatur secara jelas sebagai legitimasi penuntutan TPPU yang dilakukan jaksa KPK.

Jika setiap penegak hukum dapat menginterpretasikan sendiri kewenangannya, Hendra dan Joko khawatir, penegak hukum lainnya, seperti Polri bisa melakukan penuntutan TPPU. Alasan peradilan cepat dan biaya murah juga tidak dapat diterima. Berdasarkan hal itu, kedua hakim berpendapat dakwaan TPPU Luthfi tidak dapat diterima.

Perbedaan pendapat ini menjadi tidak terhindarkan karena UU TPPU memang tidak mengatur kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU. Namun, ahli pencucian uang Yunus Husein berpegangan pada Pasal 75 UU No 8 Tahun 2010. Pasal itu mengatur kewenangan KPK menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU.

Ia mempertanyakan, jika KPK dianggap tidak berwenang menuntut perkara TPPU, untuk apa UU No 8 Tahun 2010 meminta penggabungan penyidikan tindak pidana asal dengan TPPU. Penuntut umum KPK merupakan penuntut umum yang berasal dari Kejaksaan. Penuntut umum KPK dan Kejaksaan sama-sama penegak hukum.

Mengacu pada Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Yunus menyatakan, sangat jelas disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan Pasal 2 mendefinisikan “sederhana” sebagai pemeriksaan dan penyelesaian perkara secara efisien dan efektif.

“Kalau dipisah-pisah alangkah tidak efisiennya. Padahal, sejak awal penyidikan, UU No 8 Tahun 2010 sudah meminta untuk digabung. Tiba-tiba penuntutannya dipecah. Apakah ini menjadi lebih efisien dan efektif? Pengadilan juga sudah mengakui kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU, contohnya dalam kasus Wa Ode,” ujar Yunus.

Namun, ahli hukum TPPU Yenti Garnasih tidak sependapat jika azas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dijadikan pembenaran jaksa KPK berwenang menuntut TPPU. Menurutnya, di UU KPK maupun UU TPPU tidak ada satupun pasal yang memberikan kewenangan jaksa KPK menuntut TPPU. Kewenangan KPK hanya sampai penyidikan TPPU.

Yenti menganggap ketiadaan aturan penuntutan KPK untuk perkara TPPU sebagai kokosongan hukum yang harus dilengkapi. Selama ini, kewenangan jaksa KPK menuntut TPPU hanya diserahkan kepada penafsiran hakim. Hal tersebut tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena tidak selamanya keberuntungan ada di pihak KPK.

“Dalam beberapa perkara, dua dari lima hakim menyatakan dissenting opinion. Kita kan tidak tahu persepsi hakim. Bisa saja, suatu saat, ada tiga hakim yang tidak sependapat. Bisa lolos terdakwanya. Ini bahaya. Seharusnya ada cantelan ayat entah di UU KPK atau TPPU yang menyatakan KPK berwenang menuntut TPPU,” tuturnya.

......... bersambung ke Bagian 2.
Tags:

Berita Terkait