Intisari :
Tidak ada syarat dan ketentuan khusus untuk melaporkan suatu kasus tindak pidana kesusilaan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Penyebaran Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Bermuatan Asusila
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016, yaitu:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Untuk dapat dipidana berdasarkan pasal di atas, harus memenuhi unsur-unsur:
setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak;
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Adakah Syarat dan Ketentuan Khusus Untuk Melapor Kasus UU ITE?
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan.
[1] Orang yang melihat suatu tidak kejahatan memiliki kewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut.
Karena tindakan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE merupakan tindak pidana, maka ketentuan untuk melaporkan dugaan suatu tindak pidana tetap mengacu pada KUHAP.
Masih seputar laporan tindak pidana, Pasal 108 ayat (1) dan (6) KUHAP mengatur sebagai berikut:
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
UU ITE dan perubahannya tidak mengatur secara khusus tentang pelaporan tindak pidana terkait ITE, maka seseorang dapat melapor apabila mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban dari peristiwa pidana yang diatur dalam UU ITE.
Yang diatur secara khusus dalam UU ITE dan perubahannya adalah mengenai penanganan penyidikan. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU ITE (dalam hal ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE), secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
[2]Pihak yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (“Pejabat Pegawai Negeri Sipil”) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.
Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
Alternatif lain yang dapat dilakukan oleh mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban (penyebaran informasi atau dokumen elektronik bermuatan asusila) dapat membuat pengaduan melalui laman
Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link,
screenshot tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url,
screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti.
Alat Bukti Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
Secara umum alat bukti yang berlaku sah adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Namun, alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam UU ITE adalah, sebagai berikut:
[3]alat bukti sebagaimana dimaksud dalarn ketentuan Perundang-undangan (yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP); dan
alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU ITE dan perubahannya.
Berikut uraian tentang alat bukti lain yang dimaksud:
Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 memberikan definisi informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
[4]
Kemudian Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 menjelaskan yang dimaksud dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
[5]
Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE menyatakan bahwa bukti elektronik sah menurut hukum, pasal tersebut berbunyi:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Namun ketiga pasal di atas berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE dan perubahannya.
Maka dari itu, alat bukti hukum yang sah yaitu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus didapatkan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum agar dapat digunakan dalam proses pidana.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Aduan Konten, diakses pada Rabu, 2 Januari 2019, pukul 14.30 WIB.
[1] Pasal 1 angka 5 KUHAP
[2] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143
KUHAP
[4] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016
[5] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016