Jika Debitur Lalai Memenuhi Isi Perdamaian
Dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”), Debitur wajib mengajukan rencana perdamaian kepada para Krediturnya untuk kemudian dilakukan pemungutan suara terhadap rencana perdamaian sesuai dengan ketentuan Pasal 281 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”). Perdamaian menjadi sah dan mengikat setelah disahkan oleh Pengadilan[1] dan terhadap pengesahan tersebut tidak diajukan kasasi atau diajukan kasasi namun ditolak.[2]
klinik Terkait:
Setelah perdamaian disahkan dan telah berkekuatan hukum tetap, maka Debitur wajib melaksanakan isi perdamaian tersebut. Jika kemudian ternyata Debitur tidak melaksanakan isi perdamaian atau melaksanakan namun tidak sesuai dengan isi perdamaian (Debitur hanya melaksanakan pembayaran kepada beberapa kreditur saja) atau dengan kata lain Debitur lalai, maka sekaligus menjawab pertanyaan pertama, kreditur yang tidak menerima pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran dalam perdamaian tersebut dapat mengajukan upaya hukum pembatalan perdamaian, hal ini diatur dalam Pasal 291 jo. Pasal 170 dan Pasal 171 UU KPKPU.
Pasal 170 ayat (1) dan (2) UU KPKPU
- Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
- Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.
Dalam hal diajukan pembatalan perdamaian, Pengadilan Niaga kemudian memberikan kelonggaran kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 hari setelah putusan pemberian kelonggaran itu diucapkan.[3] Selanjutnya menjawab pertanyaan kedua, apakah Debitur otomatis pailit jika lalai dalam melaksanakan isi perdamaian? Anda bisa merujuk bunyi ketentuan Pasal 171 UUKPKPU yang menyatakan:
Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit.
Dengan demikian, jika Debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian, maka Debitur tidak otomatis menjadi pailit dan perdamaian batal, namun harus diajukan terlebih dahulu pembatalan perdamaian ke Pengadilan Niaga.
berita Terkait:
Jika dalam pemeriksaan pembatalan perdamaian, majelis hakim mengabulkannya, maka debitur dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, kemudian rencana perdamaian juga tidak bisa diajukan kembali. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 291 ayat (2) dan Pasal 292 UU KPKPU:
Pasal 291 ayat (2) UUKPKPU
Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit.
Pasal 292 UUKPKU
Dalam suatu putusan pernyataan pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291, tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian.
Sehingga menjawab pertanyaan ketiga, karena Debitur dinyatakan pailit, maka Kreditur harus mengajukan kembali tagihan kepada Kurator untuk kemudian diverifikasi dan akan dimasukkan dalam daftar piutang. Hal ini diatur dalam Pasal 115 dan Pasal 117 UU KPKPU:
Pasal 115 UUKPKU
- Semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda.
- Atas penyerahan piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kreditor berhak meminta suatu tanda terima dari Kurator.
Pasal 117 UUKPKPU
Kurator wajib memasukkan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri.
Dalam rapat pencocokan piutang akan dibacakan daftar piutang yang diakui sementara dan yang dibantah. Lalu Kreditur dapat membantah kebenaran piutang, adanya hak untuk didahulukan atau hak untuk menahan suatu benda. Jika tidak ada kesepakatan dalam daftar piutang, Hakim Pengawas dapat menunda rapat dan menentukan rapat selanjutnya selama 8 hari sejak ditunda. Jika akhirnya Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan pihak-pihak yang berselisih mengenai daftar piutang, maka para pihak dapat menyelesaikan melalui pengadilan atau yang sering disebut renvoi procedure.[4] Apabila daftar piutang telah final, maka biasanya Kurator akan membuat daftar piutang tetap yang nanti akan digunakan sebagai dasar pembagian kepada kreditur.
Pembagian kepada Para Kreditur
Kembali menjawab pertanyaan Anda, apakah kreditur akan mendapat sisa-sisa? Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa perhitungan pembagian kepada para kreditur sesuai dengan hasil pemberesan harta pailit yang akan dibayarkan secara proporsional kecuali terhadap tagihan-tagihan yang memang menurut undang-undang harus didahulukan (preferen) atau tagihan-tagihan yang dijamin dengan jaminan kebendaan (separatis). Hal ini pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1131, 1132, dan 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kemudian berdasarkan penjelasan tersebut, besarnya pembagian kepada Kreditur tergantung beberapa hal yaitu:
- Apakah hasil pemberesan harta pailit mencukupi untuk menutup seluruh utang kreditur atau tidak? Artinya, besar atau kecilnya hasil pemberesan akan berbanding lurus dengan nilai pembayaran terhadap para Kreditur, semakin besar hasil pemberesan maka akan semakin besar proporsi pembayaran kepada para Kreditur, begitu pula sebaliknya.
- Apakah tagihan Kreditur termasuk tagihan yang didahulukan (kreditur preferen) atau tagihan yang dijamin dengan hak kebendaan (kreditur separatis)? Artinya, jika kreditur tersebut termasuk kreditur di antara keduanya, maka pembayaran dilakukan, sesuai ketentuan kedudukannya.
Baca juga: Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan
Sehingga, jika Kreditur bukanlah kreditur preferen dan bukan kreditur separatis, maka bisa dibilang statusnya sebagai kreditur konkuren yang pembayarannya bisa berasal dari 2 sumber:
- Pembayaran dari hasil pemberesan benda-benda yang tidak menjadi jaminan kreditur separatis setelah dikurangi biaya-biaya, imbalan jasa Kurator, dan pembayaran kepada kreditur preferen;
- Pembayaran dari hasil pemberesan benda-benda yang menjadi jaminan kreditur separatis setelah dikurangi biaya-biaya, imbalan jasa Kurator, pembayaran kepada kreditur preferen, dan pembayaran kepada kreditur separatis itu sendiri.
Bisakah Debitur yang Lalai Dilaporkan ke Polisi?
Kemudian mengenai laporan ke polisi, pada prinsipnya masyarakat berhak untuk mengajukan laporan pidana, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan:
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Namun demikian, polisi berwenang untuk menilai layak atau tidaknya laporan tersebut diterima atau tidak, hal ini tertuang pada Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan:
Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk:
- menjamin kelancaran dan kecepatan pembuatan laporan polisi;
- melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan
- memberikan pelayanan yang optimal bagi warga masyarakat yang melaporkan atau mengadu kepada Polri.
Maka dari itu, jika Kreditur membuat laporan ke polisi atas dugaan penipuan, maka kepolisian akan mengkaji apakah laporan tersebut layak atau tidak dibuatkan laporan polisi, mengingat perdamaian dalam PKPU adalah produk putusan pengadilan, sehingga jika hanya didasarkan semata-mata perdamaian yang tidak dijalankan oleh Debitur kemungkinan besar laporan akan ditolak.
Namun demikian, jika memang ditemukan unsur pidana selain karena tidak dipenuhinya perdamaian, bisa saja laporan itu diterima, sehingga di sini diperlukan kejelian dan kemampuan pelapor dalam merumuskan dasar laporan agar laporan bisa diterima.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: