Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 31 Maret 2017.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Menjawab pertanyaan Anda, kami sampaikan bahwa istilah testimonium de auditu merupakan suatu istilah hukum yang berkaitan dengan kesaksian. Lebih lanjut, dalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana, saksi memiliki peran sebagai alat bukti.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 164 HIR atau Pasal 283 RBG yang pada pokoknya menerangkan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Selanjutnya, alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mana terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Adapun yang dimaksud dengan saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Namun, berdasarkan Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010, makna saksi ini telah diperluas menjadi sebagai berikut:
Pasal 1 angka 26 KUHAP dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
berita Terkait:
Dengan demikian, setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.
Terkait syarat seorang saksi, M. Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (hal. 661) menjelaskan bahwa syarat materiil seorang saksi sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata, yakni memberikan keterangan berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas. Sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak.
Pengertian Testimonium De Auditu
Testimonium de auditu adalah kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain.[1] Keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah:[2]
- berada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata;
- keterangan saksi yang demikian, hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu; dan
- disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa pokok perkara yang disengketakan.
Bentuk keterangan tersebut dalam sistem hukum common law disebut dengan hearsay evidence.[3]
Testimonium De Auditu dalam Praktik Peradilan
Yahya Harahap (hal. 664–665) kemudian menerangkan penerapan saksi testimonium de auditu dalam praktik peradilan, yakni sebagai berikut.
- Secara umum ditolak sebagai alat bukti
Pada prinsipnya testimonium de auditu tidak dapat diterima sebagai alat bukti. Pada umumnya sikap praktisi hukum secara otomatis menolaknya tanpa analisis dan pertimbangan yang argumentatif. Sebagai contoh Putusan MA No. 881 K/Pdt/1983, yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu, sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti.
- Dikonstruksi sebagai persangkaan
Secara kasuistik hakim dapat mengonstruksi kesaksian de auditu menjadi alat bukti persangkaan asal hal itu dipertimbangkan dengan objektif dan rasional. Meski jarang ditemukan putusan yang mengkonstruksi kesaksian de auditu sebagai alat bukti persangkaan, namun bukan berarti sama sekali tidak ada. Bisa kita lihat dalam Putusan MA No. 308 K/Pdt/1959. Menurut putusan ini:
- Testimonium de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung;
- Namun kesaksian itu dapat diterapkan sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.
Kemudian, yang umumnya dipertanyakan, apakah tindakan seperti itu dapat dibenarkan? Terkait hal ini, M. Yahya Harahap (hal. 665) mengatakan, dapat. Pasalnya, berdasarkan Pasal 1922 KUH Perdata, Pasal 173 HIR, kepada hakim yang diberi kewenangan untuk mempertimbangkan sesuatu apakah dapat diwujudkan sebagai alat bukti persangkaan, asal itu dilakukan dengan hati-hati dan saksama. Adapun menurut pasal ini, yang dapat dijadikan sumber atau landasan alat bukti persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang ialah dari saksi, bantahan atau akta.
Demikian jawaban dari kami seputar testimonium de auditu sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Putusan:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Pdt/1959;
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 881 K/Pdt/1983;
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.
Referensi:
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
[1] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal 661
[2] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal 661
[3] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 661