Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Langkah-langkah yang Harus Dilakukan Ketika Buku Nikah Hilang yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 14 Juni 2012.
Intisari :
Namun, jika ternyata catatan perkawinan (akta nikah) Anda juga tidak ada di KUA Kecamatan sehingga keabsahan perkawinan Anda tidak dapat dibuktikan dan duplikat buku pencatatan perkawinan tidak dapat diterbitkan, maka harus diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Buku Nikah sebagai Bukti Pencatatan Perkawinan
Menurut
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[1]
Dijelaskan dalam bagian Penjelasan Umum UU Perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Berdasarkan
laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
register akta perkawinan dan menerbitkan
kutipan akta perkawinan. Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud masing-masing diberikan kepada suami dan istri.
[2] Pencatatan perkawinan dalam akta perkawinan dilakukan oleh Kepala Kantor Urusan Agama (“KUA”) Kecamatan bagi perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang beragama Islam.
[3]
Jadi, wujud dari pencatatan perkawinan adalah diterbitkannya akta perkawinan.
Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan (“Permenag 19/2018”) menjelaskan bahwa
akta perkawinan atau akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan. Setelah perkawinan dicatatkan, pasangan yang menikah akan diberikan
buku nikah atau buku pencatatan perkawinan.
[4] Buku pencatatan perkawinan adalah kutipan akta perkawinan atau yang dikenal dengan istilah buku nikah.
[5]
Setelah berlakunya Permenag 19/2018, kini pasangan suami istri memperoleh
buku pencatatan perkawinan (buku nikah) dan
kartu perkawinan (kartu nikah).
[6] Kartu nikah atau kartu perkawinan adalah buku pencatatan perkawinan (buku nikah) dalam bentuk kartu elektronik.
[7]
Buku nikah menurut
Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) merupakan kutipan dari akta nikah sebagai bentuk pembuktian hukum adanya perkawinan.
Apa yang Dapat Dilakukan Jika Buku Nikah Hilang?
Terhadap buku nikah yang hilang, Pasal 35 Permenag 19/2018 menjelaskan sebagai berikut:
Buku Pencatatan Perkawinan yang rusak atau hilang dapat diterbitkan duplikat.
Duplikat Buku Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan yang mencatat perkawinan berdasarkan surat keterangan kehilangan dari kepolisian.
Penerbitan duplikat Buku Pencatatan Perkawinan karena kerusakan didasarkan surat permohonan yang bersangkutan disertai penyerahan Buku Pencatatan Perkawinan asli.
Jadi, jika buku nikah hilang, Anda bisa meminta duplikat kutipan akta perkawinan ke KUA Kecamatan. Permintaan duplikat buku nikah tersebut diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan yang mencatat perkawinan berdasarkan surat keterangan kehilangan dari kepolisian itu artinya, sebelumnya Anda harus melaporkan kehilangan buku nikah kepada kepolisian setempat terlebih dahulu.
Dalam hal KUA Kecamatan mengalami kejadian luar biasa atau
force majure yang menyebabkan akta perkawinan hilang atau rusak, legalisasi buku pencatatan perkawinan dapat dilaksanakan pada KUA Kecamatan yang menerbitkan buku pencatatan perkawinan.
[8]
Legalisasi buku pencatatan perkawinan tersebut disertai dengan melampirkan:
[9]buku pencatatan perkawinan asli;
surat keterangan sebagai suami dan istri yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa; dan
surat pernyataan bermeterai dari yang bersangkutan bahwa peristiwa perkawinan dicatat pada KUA Kecamatan dimaksud.
Jika ternyata catatan perkawinan Anda juga tidak ada di KUA setempat maupun pada KUA Kecamatan, sehingga keabsahan perkawinan Anda tidak dapat dibuktikan atau diragukan dan duplikat buku pencatatan perkawinan tidak dapat diterbitkan, harus diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama agar pernikahan Anda mempunyai kekuatan hukum.
[10]
Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) KHI, itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama terkait dengan hal-hal berikut:
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
Hilangnya akta nikah;
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; dan
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Jadi, ketika buku nikah hilang, laporkan kehilangan tersebut ke kantor kepolisian setempat untuk kemudian menjadi dasar permohonan diterbitkannya duplikat buku pencatatan perkawinan Anda ke KUA Kecamatan. Jika ternyata akta nikah asli juga tidak ditemui di KUA Kecamatan, Anda dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
[2] Pasal 34 ayat (2) dan (3) UU 23/3006
[4] Pasal 2 ayat (3) huruf d Permenag 19/2018
[5] Pasal 1 angka 6 Permenag 19/2018
[6] Pasal 18 ayat (1) Permenag 19/2018
[7] Pasal 1 angka 7 Permenag 19/2018
[8] Pasal 37 ayat (1) Permenag 19/2018
[9] Pasal 37 ayat (2) Permenag 19/2018
[10] Pasal 7 ayat (2) KHI