Bagaimana cara pemerintah menanggulangi kekurangan gizi di Indonesia yang masih tinggi? Apakah terdapat aturan dan contoh usaha yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki gizi masyarakat?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Berdasarkan amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya untuk memiliki mutu gizi yang memadai. Namun, apakah usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat telah jelas diatur dalam perundang-undangan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Upaya Pemerintah dalam Perbaikan Gizi Masyarakat yang dibuat oleh BBKH Fakultas Hukum Universitas Pasundan dan pertama kali dipublikasikan pada hari Rabu, 30 September 2020.
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu perbedaan antara kekurangan gizi dan gizi buruk.
Menurut Dedi Alamsyah (et.al) dalam Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas berjudul Beberapa Faktor Risiko Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita 12-59 Bulan (Studi Kasus di Kota Pontianak), dijelaskan bahwa gizi kurang adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi, seperti protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Sedangkan, gizi buruk biasanya terjadi pada anak balita di bawah usia 5 tahun. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi selama bertahun-tahun (hal 47).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada dasarnya, dalam dunia medis, kekurangan gizi dan gizi buruk merupakan bentuk malnutrisi yang dapat dipahami sebagai sebuah kondisi yang terjadi ketika asupan makanan seseorang tidak sesuai dengan jumlah nutrisi yang dibutuhkan. Masalah yang berkaitan dengan kekurangan gizi adalah stunting.
Akibat Gizi Buruk dan Kekurangan Gizi di Indonesia
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.[1]
Definisi stunting juga terdapat dalam artikel Mengenal Stunting dan Gizi Buruk oleh Kementerian Kesehatan, yakni merupakan permasalahan gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama yang umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi, sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak.
Adapun, persentase stunting di Indonesia pada tahun 2021 yaitu 24,4 %, yang masuk fase mengkhawatirkan karena sudah melampaui batas maksimal yang ditetapkan WHO sebesar 20% dari jumlah total anak balita dalam suatu negara. Informasi lebih lanjut mengenai hasil studi status gizi Indonesia dapat Anda dapatkan pada Buku Saku Hasil SSGI Tahun 2021.
Usaha-Usaha Perbaikan Gizi Keluarga Oleh Pemerintah
Perlu Anda ketahui bahwa, usaha-usaha pemerintah dalam menanggulangi kekurangan gizi dan gizi buruk di Indonesia telah diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Berdasarkan pasal tersebut dapat diartikan bahwa negara dalam hal ini diwakili pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir warga negara, salah satunya melalui peningkatan mutu gizi setiap warga negaranya.
Upaya perbaikan gizi masyarakat untuk pengingkatan mutu gizi perseorangan hingga masyarakat tersebut, dilakukan melalui:[2]
perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang
perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan
peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Upaya perbaikan gizi tersebut, dilakukan dari kandungan hingga lanjut usia dengan prioritas kelompok rawan yaitu bayi dan balita, remaja perempuan serta ibu hamil dan menyusui.[3]
Adapun, pemerintah menurut UU 36/2009memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk:[4]
menjamin ketersediaan bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi, secara merata dan terjangkau bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat;
menjaga agar bahan makanan memenuhi standar mutu gizi yang sudah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
menetapkan standar angka kecukupan gizi, standar pelayanan gizi dan standar tenaga gizi;
pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat;
pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat;
upaya untuk mencapai status gizi yang baik, bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat;
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.
Selanjutnya, menurut Pasal 5 Permenkes 23/2014pemerintah bertugas dan bertanggung jawab untuk:
menyusun dan menetapkan kebijakan bidang gizi;
melakukan koordinasi, fasilitasi dan evaluasi surveilans kewaspadaan gizi skala nasional;
melakukan penanggulangan gizi buruk skala nasional;
mengatur, membina, dan mengawasi pelaksanaan urusan wajib upaya perbaikan gizi;
mengupayakan pemenuhan kecukupan dan perbaikan gizi pada masyarakat terutama pada keluarga miskin, rawan gizi, dan dalam situasi darurat; dan
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.
Pemerintah juga telah menerbitkan Perpres 72/2021. Pasal 2 ayat (1) Perpres 72/2021 menegaskan bahwa dalam rangka percepatan penurunan stunting, ditetapkan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting. Menurut Pasal 2 ayat (2) Perpres 72/2021 strategi tersebut bertujuan untuk:
menurunkan prevalensi stunting,
meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga,
menjamin pemenuhan asupan gizi,
memperbaiki pola asuh,
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, dan
meningkatkan akses air minum dan sanitasi.
Pasal 6 Permenkes 23/2014 kemudian menegaskan bahwa gerakan nasional percepatan perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah provinsi sebagai berikut:
kampanye nasional dan daerah;
advokasi dan sosialisasi lintas sektor dan lintas lembaga;
dialog untuk menggalang kerja sama dan kontribusi;
pelatihan;
diskusi;
intervensi kegiatan gizi langsung (spesifik) untuk menangani masalah gizi;
intervensi kegiatan gizi tidak langsung (sensitif) untuk melakukan pembangunan di luar sektor kesehatan; dan
kegiatan lain.
Peraturan perundang-undangan di atas merupakan alas hukum bagi pemerintah sebagai regulator dalam rangka mengatasi tingginya angka kekurangan gizi masyarakat di Indonesia.
Di samping itu, pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi untuk kesehatan warga negara juga merupakan investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pengaturan tentang pemenuhan kebutuhan pangan juga telah tertuang di dalam UU Pangan yang menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.[5]
Pasal 63 ayat (1) UU Pangan kemudianmenyatakan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan di bidang gizi untuk perbaikan status gizi masyarakat. Kebijakan pemerintah ini dilakukan melalui:[6]
penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan apabila terjadi kekurangan atau penurunan status gizi masyarakat
penetapan persyaratan khusus mengenai komposisi pangan untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan
pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, dan kelompok rawan gizi lainnya, dan
peningkatan konsumsi pangan hasil produk ternak, ikan, sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian lokal.
Tindakan Nyata Pemerintah dalam Perbaikan Gizi Masyarakat
Sebagai salah satu bentuk keterlibatan mendukung program pemerintah dalam percepatan pencegahan stunting, dan agar prevalensi stunting turun, Perum BULOG sampai dengan akhir tahun 2021 telah menyalurkan bantuan bahan pangan berupa Beras Bervitamin (Beras Fortivit) kepada 2.150 balita di 6 provinsi di Indonesia. Pemberian bantuan Beras Fortivit di sepanjang tahun 2021 telah dibagikan kepada ibu hamil dan anak balita di Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, NTT, Provinsi Kalimantan Timur dan Papua.[7]
Kesimpulannya, berbagai usaha perbaikan gizi keluarga oleh Pemerintah Indonesia telah dilakukan. Upaya pemerintah untuk melakukan usaha perbaikan gizi telah diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan permasalahan ini, pemerintah telah memiliki target penurunan stunting yang membutuhkan dibutuhkan kerja sama semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dukungan organisasi kemasyarakatan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian penjelasan dari kami tentang usaha-usaha perbaikan gizi keluarga oleh pemerintah, semoga bermanfaat.
Dedi Alamsyah (al), Beberapa Faktor Risiko Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita 12-59 Bulan (Studi Kasus di Kota Pontianak), Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, Vol. 2, No. 1, 2017;